Satu per satu temen-temen sekolah gue udah pada menikah. Settle down. Rasanya “kondangan” masuk sebagai salah satu fase perkembangan pada masa dewasa awal yang harus dilalui. Perasaan gue tiap ngeliat orang terdekat gue menikah tuh ada rasa seneng, sedih (entah kenapa setiap orang terdekat gue menikah, gue merasa orang berharga di hidup gue dirampas lol) dan was-was. Setiap ada temen yang menikah gue seperti disadarkan bahwa dari segi usia, usia gue memang usia siap menikah. Sedangkan gue sama sekali belum memiliki keinginan untuk menikah. Kadang gue berpikir, is it normal? Am I normal? Ketika temen-temen gue satu per satu mulai menikah, gue bahkan belum memiliki keinginan untuk ke arah sana..
Buat gue, menikah adalah sesuatu yang kompleks. Terlebih lagi menikah identik dengan kalimat until death do us apart. Sometimes, it’s freaking me out. Bahkan ada saat-saat di mana pemikiran terliar gue muncul, kenapa harus menikah? Kenapa gue harus menikah? Gue selama single baik-baik aja terus kenapa gue harus hidup sama seseorang yang punya kesempatan buat nyakitin gue? Apasih yang dibutuhin nyampe harus menikah?
Btw nyampe sekarang gue masih mencari jawaban atas pertanyaan kenapa harus menikah?
Pandangan gue terhadapan pernikahan mulai berubah semenjak gue menginjak usia dua puluh tahun. Dulu pandangan gue terhadap pernikahan tuh utopis banget. Pengen nikah muda di usia dua puluh tahun karena ngerasa seru aja gitu jadi istri dan punya anak. Bangun pagi, masakin sarapan buat suami, beres-beres rumah (buat gue kegiatan beberes merupakan hal yang menyenagnkan), nganter anak ke sekolah. Bahagia mulu aja gitu hidupnya. Sekarang keinginan itu hanya halu babu semata.
Menjadi istri dan ibu tetap suatu hal yang menakjubkan buat gue tapi rasanya gue belum siap untuk menyandang predikat tersebut sekarang. Buat gue menjadi seorang istri dan ibu membutuhkan suatu kesiapan dan pembelajaran. Pembelajaran seumur hidup. Gue harus benar-benar merasa siap dan mempersiapkan sebelum menuju ke sana. Ditambah lagi gue anaknya overthinking banget. Contohnya, gue sekarang lagi kepengen banget nyobain surfing tapi gue takut sama yang namanya hiu. Akibat kebanyakan nonton film shark attack memang. Gue pun nyampe search semua artikel tentang surfing. Dari perlengkapan apa aja yang dibutuhkan, latihan fisik apa saja yang perlu dilakukan, data penyerangan hiu terhadap peselancar, cara menghindari penyerangan hiu. Terus contoh lain misalnya pas gue melakukan perjalanan jauh. Baik naik bus, kapal maupun pesawat. Gue overthinking banget. Setiap naik bus gue akan selalu hafalin plat busnya, liat di mana letak pemecah jendela, menghafal muka-muka penumpang yang satu bus sama gue. Setiap naik kapal, gue selalu membaca instruksi cara menggunakan pelampung. S e l a l u. Gue juga selalu duduk deket lemari penyimpanan pelampung. Gue menghitung kira-kira berapa lama waktu yang gue butuhkan untuk lari dari tempat duduk ke pintu keluar jika kapal tiba-tiba tenggelam. Sama halnya dengan naik pesawat. Gue selalu membaca manual safety. Meskipun ada beberapa yang gue sampe hafal tapi tetep gue baca. Ngeliat penumpang lain untuk memastikan gak ada yang nyalain ponsel di pesawat. Membuka penutup jendela, meneggakan sandaran, mengecek pelampung di bawah kursi. Melihat siapa penumpang yang duduk di seat terakhir karena penumpang yang duduk di seat terakhir memiliki tanggung jawab paling besar saat pesawat dalam keadaan darurat. Kadang capek sih tapi ya mau gimana lagi. Gue tau gue takut. Makanya gue mencari tau cara menanganinya kalau-kalau ketakutan gue itu beneran terjadi. Just in case. Dengan baca-baca artikel atau mencari tau segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang gue takuti, gue bisa tau kalau ketakutan gue tuh ya kadang irasional. Misal, tentang penyerangan hiu terhadap peselancar. Ternyata penyerangan hiu terhadap peselancar merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi. Kemungkinan manusia tertabrak mobil dan tersambar petir lebih besar persentasenya dibandingkan diserang hiu. Tapi bukan berarti kemungkinannya jadi 0% kan? Tetep aja gue harus mempersiapkan kemungkinan terburuk. Gue harus tau cara menanganinya. Jangan surfing pada malam hari, surfing secara berkelompok, tidak surfing saat mengalami pendarahan sekecil apapun. Gue tau gue takut, jadi gue harus cari tau cara menanganinya agar kalau ketakutan gue itu beneran terjadi gue tau apa yang harus gue lakukan.
Hal sederhana kek naik kendaraan umum atau surfing aja segitu ribetnya ya persiapan gue. Apalagi ini nikah bok. Yang kalo bisa cuma sekali seumur hidup. Tinggal bareng sama orang lain. Dari bangun tidur lalu tidur nyampe bangun lagi ya yang diliat orang itu-itu aja. Buat gue sebelum gue memutuskan untuk menikah, gue harus ngobrolin beberapa hal bareng pasangan gue. Tentang visi misi menikah, finansial, keinginan gue untuk tetap bekerja meskipun sudah menikah, kemungkinan gue akan lanjut sekolah meskipun sudah menikah, kesepakatan kapan akan punya anak, berapa jumlah anak yang ingin dipunya, parenting, setelah menikah akan tinggal di mana, kalau tinggal dengan mertua, gue harus tau apa yang disuka dan tidak disuka mertua, value apa yang melekat di hidup kami masing-masing, bagaimana cara problem solving pasangan gue. Gue mempersiapkan semua pemikiran-pemikiran ini bahkan saat GUE BELUM NEMU CALON SUAMI! *pijet-pijet kepala* Sekompleks itu gue memandang suatu pernikahan. Kalau ada temen yang menikah kadang gue mikir, mereka mikir kayak gini juga gak sih? Apa gue aja ya yang lebay? Dan satu pertanyaan yang selalu terlintas di pikiran gue setiap kali liat temen menikah, apa sih yang membuat kalian akhirnya yakin untuk settle down bersama orang tersebut?
Ketakutan terbesar akan pernikahan adalah ya gue takut berakhir dengan orang yang salah. Kalau bercerai saat belum punya anak ya gue hanya bertanggung jawab atas hidup gue. Tapi kalau udah punya anak? Anak kan gak bisa dimasukkin lagi ke rahim atau diubah jadi sperma kembali. Jangankan bercerai, keluarga yang tidak harmonis aja efeknya bakal besar banget ke anak. Dan gue paling gak mau hal itu terjadi. Meskipun gue bukan berasal dari keluarga bercerai, tapi karena gue kuliah di jurusan Psikologi dan beberapa kali pernah mengikuti workshop dan seminar tentang parenting, gue jadi tau gimana dampak luka masa lalu bagi anak. It’s so heart breaking.
Beberapa hari yang lalu pas gue kebangun tengah malam, gue iseng buka-buka steller. Gue menemukan steller seseorang (@catwomanizer) dengan bahasan menarik: The Things You Wish You Knew Before You Got Married. Berisi tentang curhatan orang-orang yang telah menikah. Rata-rata isinya penyesalan tentang “seandainya gue tau dari awal.” Pas baca itu kepala gue rasanya kayak dibentur-benturin ke kenyataan. Gue akan share beberapa isi steller tersebut di sini.
Oh ya ada lanjutan curhat tentang mbak-mbak tadi:
Ketakutan terbesar akan pernikahan adalah ya gue takut berakhir dengan orang yang salah. Kalau bercerai saat belum punya anak ya gue hanya bertanggung jawab atas hidup gue. Tapi kalau udah punya anak? Anak kan gak bisa dimasukkin lagi ke rahim atau diubah jadi sperma kembali. Jangankan bercerai, keluarga yang tidak harmonis aja efeknya bakal besar banget ke anak. Dan gue paling gak mau hal itu terjadi. Meskipun gue bukan berasal dari keluarga bercerai, tapi karena gue kuliah di jurusan Psikologi dan beberapa kali pernah mengikuti workshop dan seminar tentang parenting, gue jadi tau gimana dampak luka masa lalu bagi anak. It’s so heart breaking.
Beberapa hari yang lalu pas gue kebangun tengah malam, gue iseng buka-buka steller. Gue menemukan steller seseorang (@catwomanizer) dengan bahasan menarik: The Things You Wish You Knew Before You Got Married. Berisi tentang curhatan orang-orang yang telah menikah. Rata-rata isinya penyesalan tentang “seandainya gue tau dari awal.” Pas baca itu kepala gue rasanya kayak dibentur-benturin ke kenyataan. Gue akan share beberapa isi steller tersebut di sini.
Menurut gue jangankan anger issues tapi bagaimana cara kita mengelola emosi adalah sesuatu yang krusial banget. Salah satu kriteria kesiapan menikah menurut Ghalili, Ahmadi, Fatehizadeh & Abedi (2012) adalah kesiapan emosi untuk menikah. Emosi yang stabil memiliki peranan penting dalam mengembangkan dan mempertahankan kehidupan pernikahan yang sukses. Ghalili et al dalam penelitiannya pada tahun 2012 menyatakan bahwa kesiapan emosi untuk menikah dapat berupa mampu menunjukkan perasaan, mampu mengontrol emosi terutama ketika marah, tidak terikat secara emosi terhadap orangtua dan menghindari penggunaan obat-obatan terlarang. Selain itu kematangan dan kesehatan emosional merupakan bagian dari dimensi kesiapan menikah yaitu personal readiness for marriage (Bob & Blood, 1978). Menurut Bob & Blood (1978) seseorang yang memiliki kematangan emosional memiliki kemampuan untuk membangun dan menjaga hubungan personal, kemampuan untuk memberi, kemampuan untuk menerima serta empati. Terkait dengan kesehatan emosional, Bob & Blood (1978) menyatakan bahwa individu kadang memiliki perasaan cemas, murung, tidak aman dan curiga. Namun ketika perasaan tersebut muncul secara terus-menerus maka akan dapat merusak hubungan interpersonal.
Ada juga sender lain yang membahas tentang bagaimana caranya ngetes pasangan sampai ke tahap boiling point,
"Ngetes" pasangan sampai tahap boiling point menurut gue diperlukan untuk melihat bagaimana problem solving pasangan kita dalam menghadapi suatu masalah. Gue baru sadar pentingnya tau bagaimana cara problem solving pasangan itu pas 5 tahun yang lalu. Ketika gue pacaran pas SMA. Gue orangnya paling gak bisa kalo ada tidak keselarasan dalam hidup gue. Rasanya harus segera ditemukan akan permasalahannya dan gimana cara menyelesaikannya. Misal kalo lagi ada masalah dan berantem sama pasangan, udah pasti gue akan nanya: kita tuh kenapa? Kamu kenapa? Aku gak sreg sama ini. Kamu maunya gimana? Aku maunya gini. Cari jalan tengahnya. Win win solution buat kita berdua. Makanya gue benci banget ngadepin orang yang kalo ada masalah malah ngilang. Kayak mantan gue pas SMA. Dia tiap ada masalah malah ngilang. Buat gue ngilang dan nyari waktu untuk sendiri itu beda ya. Gue berusaha untuk konsolidasi eh dia malah ngilang aja gitu. Kalo dia sebelumnya bilang okay, let me take my time for awhile sih gue gak masalah. Setidaknya dia bilang, dia tau maunya gue gimana dan gue tau at least untuk sementara waktu ini dia maunya apa. Ada komunikasi. Bukan malah ngilang seenak jidat. Makanya juga ye kan hubungan gue ma dia bubarrrrrr. Mana gue anaknya short temper. Kalo pasangan gue tiap ada masalah malah ngilang, sudah dapat dipastikan gue akan ngedrama dalam 10 babak.
Gue pernah bahas hal ini bareng kakak tingkat gue, : Kang Rizky dan Teh Adnin (It was so much fun!). Kang Rizky berpendapat bahwa
Dan buat kalian yang memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat, semoga rencananya dilancarkan. Buat kalian yang ingin menikah tapi belum datang jodohnya, semoga segera dipertemukan di segala hal yang tepat. Buat kalian yang sudah menikah, semoga kehidupan pernikahannya senantiasa dilimpahkan berkah. Dan buat kalian yang memilih tidak menikah, it’s okay. You can be happy and love yourself with your own good way. Have a good life everyone and may peace be upon you!
Gue sih setuju kalo mau liat true colors seseorang itu adalah liat bagaimana mereka menghadapai masalah ketika dalam keadaan capek. Salah satu caranya bisa naik gunung. Tapi naik gunung ini ya duh not my thing gitu lho. Kalo di gunung ada toilet yang bersih di setiap penjuru, gue baru mau naik gunung. Gue pribadi sih lebih milih cara dengan ngajak pasangan traveling ke tempat yang jauh. Tapi sebelum gue ngajak pasangan gue traveling, gue mau nyobain sendiri. Gue pengen tau sejauh mana diri gue bisa ngatasin masalah di saat kritis. Makanya gue pengen banget yang namanya solo traveling ke luar negri. Whops!
Kalo Teh Adnin, dese berpendapat seperti ini
Yha.
Bhaique.
Atur.
Curhatan sender lainnya adalah
Tau kebiasaan-kebiasaan pasangan sekecil apapun itu buat gue penting banget ya. Gue yang anaknya menjunjung tinggi nilai kebersihan dan kerapihan gak akan kuat kalo tinggal bareng sama orang yang serampangan. Bisa sih ditahan-tahanin. Tapi pasti jadi bom waktu juga akhirnya. Jadi mending tau dari awal apakah pasangan gue oragnya "jorok" atau tidak. Kadang ya gue berpikir hm tinggal bareng aja gitu ya biar ku tau apakah pasangan gue suka narok handuk basah di atas kasur, kalo ngambil baju di lemari bajunya langsung ditarik atau baju di atasnya diangkat dulu, kalo make toilet dibersihin lagi apa enggak. Tapi! Studi menujukkan bahwa pasangan yang melakukan kohabitasi (kumpul kebo) sebelum menikah lebih cenderung untuk mengalami perceraian daripada pasangan yang tidak melakukan kohabitasi sebelum menikah (DeMaris & Rao, 1992; Teachman, 2003). Hal ini sejalan dengan studi yang menunjukkan bahwa kualitas pernikahan seseorang yang melakukan kohabitasi sebelum menikah lebih rendah daripada seseorang yang tidak melakukan kohabtiasi (Horowirtz & White, 1998; Treas & Giesen, 2000). Kohabitasi memiliki konsekuensi negatif seperti menciderai moral yang berlaku pada masyarakat, kekecewaan saat kohabitasi mengakibatkan kegagalan pernikahan atau sebagai bukti terjadinya perceraian (Larson, 1998). Kohabitasi mungkin dapat membantu pasangan untuk mengenal satu sama lain tetapi tidak menjamin akan meningkatkan kemungkinan memiliki pernikahan yang bahagia (Larson, 1992).
Ada pendapat seseorang yang menurut gue cukup menarik:
Masalah uang atau finansial ini memang penting banget. Bahkan kesiapan finansial merupakan salah satu kriteria kesiapan menikah (Ghalili et al, 2012). Penelitian Ghalili et al (2012) menunjukkan bahwa kualitas seperti menghasilkan uang yang cukup, memiliki karir jangka panjang dan kemandirian finansial sebagai hal yang diperlukan untuk memasuki pernikahan. Menurut gue ya realistis aja sih hidup gak cukup cuma makan cinta gitu. Makan coki-coki aja gak kenyang ye kan. Kalo gue pribadi sih pasangan gue gak harus dari kalangan jetset Asia (meski gak nolak juga ya bok. Prada every week is coming). Yang penting pekerja keras, punya penghasilan tetap dan penghasilannya gak tiarap-tiarap amat ya. Kalo buat makan dirinya aja susah, terus mau nyuapin gue pake apa? Angin? Dikata gue Spongebob kali ah yang kalo makan tinggal mangap-mangap doang.
Cerita-cerita para sender lainnya adalah
Hal menarik lain yang gue sadari setelah baca steller ini adalah pentingnya obrolan mengenai sex sebelum menikah bersama pasangan. Sebelum baca steller ini jujur aja buat gue obrolan sex dengan pasangan adalah sesuatu yang tabu. Track record perselangkangan lo ya urusan lo, track recrod perselangkangan gue ya urusan gue. Padahal urusan sex itu gak kalah pentingnya. Gue memegang prinsip commit virgin until married. Kalo misalnya pasangan gue tidak memegang prinsip yang sama, dan gue baru tau hal itu setelah nikah wahhh kacau pasti. Jujur ya, sebelumnya gue belum open minded banget kalo misalnya nanti pasangan gue udah gak perjaka. Gak perjaka bukan karena by a hand ya tapi by a penetration. Ada perasaan gak terima aja di diri gue. Marah gitu deh. Perasaan kek semacam eh kok lo gitu sih? Prinsip gue kan commit virgin until married dan gue mengharapkan hal tersebut juga dilakukan oleh pasangan gue. Tapi kan ya tiap orang beda-beda. Gue juga gak bisa main pukul rata semua orang termasuk pasangan gue harus sama kayak gue. Lucunya, gue gak pernah merasa masalah kalo misalnya pasangan gue nanti adalah seorang duda.
Beberapa orang yang curhat di steller tersebut mengungkapkan bahwa mereka melalukan “test drive” terhadap pasangan untuk memastikan apakah pasangannya masuk ke quality check mereka dalam segi sex. Aq bacanya hanya bisa ketap-ketip. Jangankan sex ya, gue genggam tangan cowok aja tuh 5 tahun yang lalu! Jangankan sex, gue aja belum pernah ngerasain yang namanya grepe-grepe dan digrepe-grepe. Jangankan sex, bibir gue kalo ciuman aja rasanya kek kaku (eittsss meskipun amatir tapi gue adalah pembelajar yang baik *monyong-monyongin bibir*). Ya berarti buat gue yang commit virgin until married, cara lainnya adalah ngobrol dengan pasangan. Obrolan tentang sex sebelum menikah bisa jadi langkah preventif. Misal, kalo pas ngobrol kita jadi tau bahwa pasangan kita dulu "suka jajan", hal tersebut membuat kita untuk melakukan tes kesehatan yang mungkin tidak sempat terpikir. Nah cara mulai ngobrolnya ini yang gue belom ngerti gimana mulainya. Masak gini,
Me: yang...yang....Kamu pernah ekhem ekhem gak sama pacar kamu dulu?
Harry Style : ekhem ekhem apasih beb? Batuk bareng? Pernah sih pas itu. Abisnya London hujan muluk.
Me: Bukan lho. Pas dulu kamu sama mb Taylor Swift pernah gitu gitu gak?
Harry Style: Opo seh yang? Gitu-gitu opo? Uu aa uu aa. Omonganmu ndak jelas blas!
*kemudian putus*
Yha. Bisa. Tapi. Segan.
Kalo misalnya masalah sex gak pernah diobrolin sama sekali takutnya kejadian kek gini cyin
Ada seorang Psikolog yang memberikan pandangannya terkait hal ini
Kang Rizky dan Teh Adnin juga memiliki pendapat yang cukup menarik tentang hal ini
Ini pendapat Teh Adnin kalo pasangan gue sudah pernah melakukan premarital sex
Jadi, urusan sex ini memang sangat penting untuk diketahui ya. Baik melalui test drive pasangan atau ngobrol dengan pasangan. Soalnya pas nikah nanti kan tidak terlepas dengan aktivitas seksual. Kalo gak puas, nanti malah jadi lemas. APOSEH SEHH BOK BAHASA GUE!
Curhatan para sender lainnya
Terdapat 3 hal yang gue pelajari setelah baca Steller ini. Pertama, menikah memang butuh kesiapan. Kesiapan menikah. Kesiapan menikah di sini maksudnya bukan ucapan sesumbar "iya beb aku siap nikah sama kamu. Aku siap nerima kamu apa adanya." Oh well, bollocks. Atau "aku siap dan janji gak akan pernah nyakitin kamu." Puih, another bollocks. Siap menerima apa adanya tuh yang gimana? Sejauh apa? Harus ada tolok ukur yang jelas. Nyatanya kesiapan menikah itu ada definisi menurut ahli, ada alat ukurnya, penelitiannya bahkan ada kriteria-kriterianya. Measurable. Bisa dikalkulasi. Kayaknya pada akhirnya segala sesuatu memang butuh dikalkulasi. Bahkan perkara masuk surga atau neraka merupakan hasil kalkulasi amal dan dosa selama di dunia kan? Kalo masih ada laki-laki di tahun ini, di abad ini, di generasi ini yang bilang "aku mau nerima kamu apa adanya" di depan muka gue, gue akan memberikan dia senyuman semanis mungkin dan berkata,
Sebelum individu melakukan pernikahan, dibutuhkan adanya suatu kesiapan (Sunarti, Simanjuntak, Rahmatin & Dianeswari, 2012). Menurut Eva & basti (2008), ketidakpastian dalam menghadapi pernikahan tidak jarang dapat menimbulkan konflik dan bahkan bisa berakhir dengan perceraian (Fatma & Sakdiya, 2015). Kesiapan menikah penting diperlukan karena merupakan dasar keputusan mengenai orang yang akan dinikahi, waktu menikah, perediktor kepuasan menikah nantinya serta faktor penting dalam membuat keputusan untuk menikah (Holman & Li, 1997;Larson & Larmont, 2005). Kesiapan pernikahan adalah persepsi laki-laki dan perempuan terhadap dirinya yang telah menyelesaikan masa remaja untuk memasuki jenjang pernikahan dan secara fisik, emosi, tujuan, keuangan dan pribadi telah siap untuk bertanggung jawab dalam pernikahan (Duval, 1971; Holman, Larson & Harmer, 1994).
Kedua, pentingnya quality check pasangan. Bok, milih presiden dengan masa pemerintahan 5 tahun aja harus riset dulu ya kan prestasinya apa aja, visi misinya apa. Apalagi ini milih orang untuk dijadikan pasangan hidup sampai mati. Ya kali asal comot. Omongan oang jaman dulu yang terkadang terdengar kolot tuh ternyata ada benernya. Milih pasangan berdasarkan bibit, bebet, bobotnya. Jangan nyampe kan kualitas pasangan dan ayah atau istri dari anak-anakmu kelak hanya segini:
Ketiga, pentingnya konseling pra nikah. Buat gue pribadi kalo suatu saat nanti gue memutuskan untuk menikah maka gue akan ngajak pasangan gue untuk berdiskusi dengan psikolog atau konsultan pernikahan. Membahas dari rencana terbaik hingga rencana terburuk. Gimana kalo misalnya pasangan selingkuh, atau harus LDR, atau anak mengalami disabiitas. Kalo hal-hal tersebut sudah pernah didiskusikan, setidaknya kita jadi tau apakah pasangan siap untuk menerima hal tersebut dan bagaimana langkah ke depan yang harus diambil.
Emang rada ribet ya. Tapi ya mau gimana lagi. Nyatanya untuk menikah, cinta saja tidak cukup. And it's scientific fact. Larson menyatakan dalam studinya pada tahun 1992 bahwa keyakinan yang menganggap bahwa jatuh cinta merupakan alasan yang cukup untuk menikah merupakan keyakinan yang tidak realistis. Memilih pasangan hanya berdasarkan cinta romantis dapat berbahaya karena cinta romantis dapat berupa sesuatu hal yang lain seperti dorongan seksual, pelarian dari rasa kesepian, kelekatan yang neurotis (Lederer & Jackson, 1968). Cinta memang sesuatu yang penting dalam suatu hubungan namun terdapat hal lebih penting untuk dipertimbangkan sebelum menikah seperti kesamaan nila, latar belakang dan kesiapan menikah (Larson, 1992).
Pernikahan bukan untuk menyelesaikan masalah. Masalah ya masih terus tetap ada selagi kita masih hidup. Tapi bukan juga berarti pernikahan itu isinya cuma masalah. Yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan pernikahan bersama pasangan. Apakah kedua belah pihak sudah sama-sama siap untuk menghadapinya? Gue juga jadi berpikir bahwa menikah bukanlah suatu keharusan, tapi sebuah pilihan. Gue gak bisa nge-judge bahwa orang yang menikah di usia muda adalah seseorang yang belum siap menghadapi pernikahan atau nge-judge orang yang berusia late twenty seharusnya udah menikah karena tuntutan usia. Selalu ada alasan dibalik orang yang memilih menikah maupun tidak menikah.
Keputusan untuk menikah merupakan keputusan yang sangat personal. Dan gue sadar betul akan hal itu. Yang bisa bikin gue memutuskan untuk menikah adalah ya diri gue. Kesiapan diri gue. Kalo misalnya gue belum siap menikah dan memaksakan diri untuk menikah karena tuntutan pandangan masyarakat, tuntutan usia atau just simply karena temen-temen gue udah pada menikah, gue rasa itu gak adil aja untuk pasangan gue. Menikah adalah sesuatu yang mulia. Seseorang datang ke hidup gue dengan maksud baik, penuh kasih dan kepercayaan. It such an honoured. Dan gue tidak seharusnya membalas kebaikan tersebut dengan ketidakpastian dan ketidaksiapan atas diri gue yang nantinya akan berimbas ke hidup dia. You don't know what goes on in anyone's life but your own. And when you mess with one part of person's life, you're not messing with just that part. Unfortunately, you can't be that precise and selective. When you mess with one part of person's life, you're messing with their entire life. Everything.....affects everything. (Jay, Asher, Thirteen Reasons Why)
Btw fun fact: gue nulis tulisan ini berhari-hari. Gak seperti postingan blog gue lainnya yang bisa gue selesaikan dalam sekali duduk (plus goler-goler, twitteran, rebahan, update playlist Spotify). Pas buat postingan ini gue harus riset kecil-kecilan, tanya pendapat beberapa orang, baca lagi skripsi gue, baca beberapa artikel dan jurnal Psikologi. Selama beberapa hari dalam proses pembuatan tulisan ini, gue jadi mikir ulang. Tentang pernikahan itu sendiri. Jujur aja beberapa waktu belakangan ini pandangan gue terhadap romantic relationship itu bitter banget. Makanya gue punya pemikiran ketika gue menikah gue harus punya alasan yang rasional banget, meski hal ini gak ada salahnya. I do realize, my past romantic relationship affected me so much. Bagaiamana pengalaman masa lalu dalam hal ini konteksnya adalah hubungan romantis membuat gue membangun tembok yang sangat tinggi antara diri gue dengan lawan jenis. Setiap ada laki-laki yang ngedeketin gue, gue akan secara otomatis ngasih jarak yang sangat lebar. I don’t have “trust issues”. I got “I’ve seen this type of shit before so I be damned if I go through it all over again” type of issues. Itu.
Sebelum menulis postingan ini gue beranggapan bahwa pernikahan adalah sebuah wadah yang menyediakan kesempatan bagi seseorang untuk menyakiti gue secara “legal”. Padahal pada kenyataannya adalah Everybody can hurts you even yourself. Ketika dalam proses pembuatan tulisan ini, ada satu pertanyaan yang selalu gue lontarkan ke orang yang gue wawancarai: are you happy? Dan jawaban mereka adalah yes, I am. Meskipun jawaban mereka tidak bisa mewakili jawaban seluruh populasi orang yang telah menikah di dunia karena dari segi sample pun sample gue tidak memadai. Tapi poin gue di sini adalah, apa sih yang bikin kamu bahagia setelah menikah? Gue dengerin cerita sahabat gue tentang kehidupannya setelah menikah, gue main ke rumah kakak sepupu gue yang baru menikah dan melihat perubahan apa yang terjadi di diri dia. Saat gue mendengarkan cerita sahabat gue dan main ke rumah kakak sepupu gue, gue jadi tau oh ini yang bikin kamu bahagia. Betapa pengertiannya suami sahabat gue untuk membantu ngurus rumah ketika sahabat gue sedang hamil. Bagaiamana suami kakak gue stand up for her ketika kakak gue menghadapi julidnya kakak ipar. Betapa senangnya kakak gue nyiapin makan siang untuk suaminya. Betapa sabarnya suami sahabat gue dalam menghadapi perubahan hormon ibu hamil. Gue pun jadi tersadar bahwa pernikahan sebenarnya tidak seburuk apa yang gue pikir KALO kita menikahi orang yang tepat. Dan bagaimana kita tau apakah dia seseorang yang tepat atau bukan? Menurut gue sih balik lagi ke poin kesiapan menikah, quality check pasangan, atau pergi ke psikolog/ konsultan pernikahan.
Kalo kalian punya pendapat tentang pernikahan please don’t mind to share it. I’d like to know your opinion.
Komentar
Posting Komentar