Saya
pernah makan malam bersama kamu di daerah Jakarta suatu ketika. Saat itu kamu
memesan menu ikan dori. Dan saya hanya memesan sup harga dua puluh lima ribuan. Menu
paling murah di restoran itu karena saya tidak enak sebab kamu yang mentraktir.
“Kalo
kamu cuma pesan makanan murah, mending saya tadi membawa kamu ke alfamart. Pesan yang lain!” perintahmu
saat saya menunjuk menu.
Padahal
saya tidak apa-apa memakan bubur. Pikir saya, sebagai sesama mahasiswa, uang
yang kamu pakai untuk mentraktir saya makanan mahal lebih baik ditabung saja. Tapi
sepertinya kamu adalah keturunan sultan. Atau mungkin sedang ingin bersikap
dermawan saja kepada saya malam itu.
Restoran
itu terdiri dari dua lantai. Lantai paling atas ada suatu ruangan terbuka
seperti rooftop. Ruangan terbuka itu
menghadap langsung ke gedung salah satu kartu provider terbesar di Indonesia.
Kamu
mengajak saya untuk duduk di ruangan terbuka itu. Kamu duduk menghadap gedung. Saya
duduk menghadap kamu. Keadaan sekeliling sangat sepi. Hanya ada saya dan kamu saat itu. Saya menoleh
ke belakang. Meskipun pemandangannya langsung menghadap gedung, tapi
pemandangannya tidak terlihat kaku. Setidaknya bagi saya. Dari lampu gedung
tersebut, saya seperti melihat bintang-bintang yang terbentang secara
horizontal. Dan beberapa kaca gedung yang lampunya sudah temaram, seperti
langit malamnya. Saya menyukai pemandangan gedung dari restoran itu. Saya menyukai
bisa melihat pemandangan itu bersama kamu.
“Kamu
tahu tidak, kenapa saya ingin sekali ke Prancis?” tanyamu. Seperti biasa, jika
kamu mengawali percakapan dengan pertanyaan maka malam ini merupakan malam yang
sangat panjang.
“Hmmm.”
Saya memutar posisi tubuh kembali menghadap kamu. “Karena kamu fans garis keras
film Eiffel I’m in Love?” jawab saya asal.
Kamu
tergelak. “Bukan lah.”
Saya
mencoba menjawab lagi. Kini sedikit serius. “Karena Prancis merupakan kota
cinta?”
“Kamu
pikir saya se-mellow itu?” kamu
tertawa.
“Eh
tapi kamu tahu tidak?” kamu menambahkan. “Meskipun Prancis memiliki julukan
sebagai kota cinta, tapi Prancis merupakan salah satu negara dengan angka
perceraian tertinggi.”
Mata
saya terbelalak mendengar informasi mengejutkan itu. Informasi yang
memporak-porandakan fantasi saya mengenai Prancis si kota cinta.
“Lalu,
kenapa kamu ingin sekali ke negara yang sangat paradoks seperti itu?” kini
gantian saya yang bertanya.
Kamu
mencondongkan tubuhmu mendekat ke saya. Atau lebih tepatnya ke arah meja karena
saat itu jarak saya dan kamu sebenernya tidak cukuplah dekat. Terimakasih saya ucapkan kepada meja sialan
yang sudah menjadi penghalang bagi kecupan-kecupan sederhana yang mungkin bisa
saja terjadi.
“Saya
ingin ke Prancis karena Prancis memiliki perpustakaan tertua di dunia. Membaca buku
langsung dari sumber tertua di dunia adalah mimpi saya.” jawabmu berseri-seri.
Kotak
mimpi. Julukan itu saya dapat dari kamu karena kamu selalu menceritakan
mimpi-mimpi kamu kepada saya. Dan malam ini, kamu meletakkan mimpi kamu yang
lain ke diri saya. Malam ini, saya mengingat mimpi kamu yang lain.
“Li,”
saya berdehem sejenak sebelum melanjutkan. “kamu kenapa sih selalu menceritakan
mimpi-mimpi kamu ke saya?”
“Karena
kamu seperti nama kamu; Selasa. Kamu adalah orang yang paling tidak sibuk untuk
mendengarkan mimpi saya. Kecuali nama kamu ganti menjadi Senin.” jawabmu sembari
tertawa.
Saya
sontak mencubit tanganmu. “Juli ih! Serius!”
Kamu
kembali tertawa. “Oke oke. Santai aja dong La nyubitnya. Tulang saya hampir
melompat keluar nih.”
“Terus
karena apa?” tanya saya cemberut menuntut jawaban yang lain.
Kamu
memutar bola mata. Menaruh jari telunjuk di pelipis seolah-olah sedang berpikir
keras. Pertanda bahwa kamu akan kembali melontarkan jawaban aneh lainnya.
“Ya
kebetulan adanya kamu kali La. Tapi kadang-kadang saya juga cerita tentang
mimpi saya ke pohon pisang lho. Cobain deh. Besok-besok saya mau coba cerita ke
stoking hansip ah. Soalnya cerita ke kamu suka dapet cubitan.
“JULI
KAMU TUH YA!” saya kembali mencubit tanganmu. Bedanya kali ini lebih keras.
Saya
melipat tangan, membuang muka. Darah saya hampir naik ke langit ke tujuh karena
jawaban kamu.
Kamu
masih tertawa geli.
“Yahhhh
Laaaaaa. Jangan ngambek dong.”
Saya
tidak menggubris kamu yang masih keasyikan terpingkal-pingkal.
“Laaaaaaaaaaaaa.”
Saya
tetap tidak merespons.
“Laaaaaaaaaaaaa.”
“Laaaaaaaaaaaaaa.
Jawab dong. Nanti dikiranya saya sedang manggil Lala temannya Po lagi.”
Saya
tetap tidak mau menoleh. “Ngobrol aja sana sama stoking hansip!” ucap saya
sambil bersungut-sungut.
Kamu
menghela nafas. “Selasa,” panggilmu kini dengan intonasi lebih dalam. “tolong
liat ke arah saya sebentar, boleh?”
Saya
pun langsung menoleh ke arah kamu dan menaruh tangan di atas meja. Persis seperti
murid yang sedang dipanggil guru BK.
Kamu
meraih tangan kanan saya. Mengusapnya perlahan. “La, saya tau kamu. Saya tau
kamu tau jawaban saya. Saya tau bukan pertanyaan ini yang sebenarnya menjadi
kegelisahan kamu.”
Saya
menunduk membenarkan.
“Jadi
apa kegelisahan kamu sebenarnya, hm?”
Saya
menarik tangan dari genggaman kamu. Menunduk lebih dalam.
“Saya
takut, Li.” ucap saya getir.
“Takut
apa?”
“Saya
takut sama hari-hari kita. Seperti hari ini. Saya takut sama hari-hari ketika
kamu cerita tentang mimpi kamu. Ketika kamu membelikan saya es krim. Ketika hari
ulang tahun kamu. Hari ulang tahun saya yang selalu ada kamu. Saya takut sama
tanggal 27 bulan Agustus yang mana adalah hari jadi kita. Saya takut sama
memori tentang kita.” jawab saya sambil harus menggigit bibir agar air mata
yang saya tahan sedari tadi tidak tumpah. Dasar hormon pre menstruasi sialan!
Kamu
memiringkan kepala. Menatap saya bingung.
“Kamu
tidak bahagia ketika bersama saya?”
“Justru
sebaliknya, Li.” sahut saya. “Saya bahagia ketika bersama kamu. Makanya saya
takut. Saya takut, kalo kita sudah tidak bersama lagi, saya tidak bisa
melupakan kamu.”
“Selasa,”
kamu tersenyum. “Kenapa harus lupa?”
Saya
memandang kamu dengan tatapan tidak percaya. Kenapa harus lupa katamu?
“Karena
kalo saya tidak bisa melupakan kamu ketika kita tidak bersama lagi, maka saya
akan terus terluka."
Kamu
menatap saya lurus. Menunggu saya untuk terus melanjutkan.
“Kamu
tau kan Li. Memori yang sudah terpatri, tidak bisa ditarik kembali.”
Kamu
kembali tersenyum. “La, kamu dan Prancis tuh sama-sama paradoks deh. Kamu suka
menghabiskan hari-hari ketika bersama saya. Kita setiap hari membangun memori. Kamu
tau memori yang sudah terpatri tidak bisa ditarik kembali. Tapi di satu sisi
kamu takut untuk mengingat.
Saya
terdiam.
“Selasa,
kamu dan juga saya tidak bisa lupa. Kecuali terkena amnesia. Hal yang bisa kita
lakukan adalah mengingat dengan cara yang baik.”
Saya
menatap kamu. Mencoba mencari jawaban dari kedua mata kamu yang menatap saya
teduh.
“Caranya?”
Kamu
menggenggam kedua tangan saya erat.
“Kamu
tau jawabannya.”
Saya
membalas senyuman kamu.
“Dengan
terus bersama?”
Komentar
Posting Komentar