Selasa
suka sekali dengan perayaan. Baginya, setiap momen penting patut dirayakan.
Selasa tergila-gila dengan berprosesi.
Saya
suka terkejut selama bersama Selasa. Suka dalam artian rasa dan frekuensi. Tanggal
31 Desember yang bagi saya hanyalah tanggal biasa, disulap menjadi sebuah
perayaan luar biasa oleh Selasa.
“La,
kamu kenapa sih suka banget merayakan tahun baru?” Tanya saya sembari menata
lampu hias mengelilingi tanaman. Tahun itu adalah tahun pertama saya bersama
Selasa. Tahun pertama bagi saya merayakan pergantian tahun. Sebuah pesta kebun sederhana. Halaman rumah Selasa sengaja diberi lampu hias yang dirambatkan ke tanaman. Lampu ini akan dinyalakan tepat pada jam 12 malam saat pergantian tahun. Selasa menyebut pesta ini bertema Renaissance.
Selasa
yang sedang meletakkan baki sosis dan daging di atas meja menoleh ke arah saya
sambil cemberut, “Kamu ga suka?”
Saya
tersenyum, “Itu pertanyaan La. Saya bertanya. Bukan masalah suka atau tidak
suka.”
“Hmm.”
Selasa duduk berpikir menghadap saya yang masih sibuk menata lampu. “Kalo kamu
Li? Kenapa ga pernah merayakan tahun baru?”
Menjawab
pertanyaan dengan pertanyaan. Tipikal. Selasa sekali.
Saya
meletakkan lampu hias di atas rumput. Menyambar segelas jus jeruk di atas meja
lalu duduk di samping Selasa. “Apa yang mau dirayakan?” saya membalas
pertanyaan Selasa juga dengan
pertanyaan.
“Memangnya
tidak ada yang ingin kamu rayakan?” pertanyaan yang kembali dijawab dengan
pertanyaan. We can play this game all
night long but I won’t.
Saya
menatap Selasa yang terlihat bingung, “Tanggal 31 Desember akan ada setiap
tahun. Niscaya. Kecuali ada revolusi maha dahsyat sehingga susunan kalender
berubah. Setelah tanggal 31 Desember adalah 1 Januari. Itu juga niscaya. Hal
itu berlangsung selama bertahun-tahun. Hal yang sama. Apa yang perlu dirayakan
dari sebuah pengulangan?” Beberapa detik saya sempat menyesal kenapa jawaban
saya harus diakhiri dengan pertanyaan (lagi).
Selasa
tertawa mendengar jawaban saya. “Ya ampun Li, kamu tuh orangnya sangat ‘biasa
aja’ ya?”
“Kamu
pasti ga pernah bilang ‘new year, new me’
ya?” Tanya Selasa yang masih tertawa geli.
“Enggak.”
Jawab saya cepat. “Tahun depan nama saya ga mungkin berubah menjadi Juni. Saya
tetap menjadi Juli.”
“Jadi
La,” sahut saya. “Balik ke pertanyaan saya yang pertama. Kenapa kamu suka merayakan
tahun baru?”
Saya
melihat Selasa sekilas mengehembuskan nafas. Menatap langit malam seolah jawaban ada
di atas sana.
“Saya
tidak merayakan angka dan tanggal, Juli.” Ucap Selasa. “Perayaan saya tidak
hanya perihal waktu, tetapi juga momen. Dan tahun ini, momennya ada kamu.”
Selasa
menoleh ke arah saya. Menatap saya teduh, “Saya merayakan kehadiran kamu.”
***
Sudah
terhitung 5 tahun saya bersama Selasa. Selama itu pula hidup saya penuh dengan
perayaan. Lebih tepatnya, terbiasa dirayakan. Saya masih
menjadi orang yang kata Selasa “sangat biasa aja.” Sampai akhirnya tiba hari ini. Saya ingin melakukan perayaan.
Gagasan ini muncul karena ketidaksengajaan saya melihat kalender di meja kerja. 31 Desember 2019 yang jatuh pada hari Selasa. Hari yang mengingatkan saya kepada Selasa. Saya ingin menghabiskan hari Selasa bersama Selasa.
Saya tidak begitu ahli dalam membuat rencana. Mengkonsep pesta, menuliskan puisi sederhana. Saya manusia yang sangat biasa saja. Gagasan perayaan saya hanya berisi Selasa dan saya yang menghabiskan malam pergantian tahun berdua, di genteng kosan.
"Kamu
suka sekali ya mengajak saya ke tempat ketinggian?" ujar Selasa saat saya membantunya untuk naik ke genteng.
"Ke rooftop restoran, dan
sekarang di genteng kosan. Kamu mau membuat saya lebih dekat dengan keberadaan Tuhan?"
Hampir saja saya melepas pegangan tangan Selasa karena tertawa terbahak-bahak.
"Saya ingin kamu menyicil tingkatan langit. Kali aja kamu nanti tidak bisa sampai ke langit ketujuh karena udah duluan nyemplung ke neraka." sahut saya.
Selasa sontak memberi saya tatapan bernada, Juli-sebaiknya-kamu-diam-atau-saya-bisa-membuat-kamu-merasakan-neraka-tanpa-melewati-proses-kematian.
"Jadi," ucap Selasa saat akhirnya bisa mencapai genteng kosan. "kamu akhirnya jilat ludah sendiri?"
Here we go again. Back to square one.
Saya menaikkan alis, "maksud kamu?"
Selasa memutar bola matanya. "Tinggil 31 Disimbir ikin idi sitiip
tihin. Nisciyi. Kiciali idi rivilisi mihi dihsyit sihinggi sisinin kilindir
biribih. Hil
iti birlingsing silimi birtihin-tihin. Ipi ying pirli diriyikin
diri sibiih pingilingin." ejek Selasa.
Saya tertawa sekaligus gemas sekali ingin mendorong dia ke lantai dasar. "Maksud kamu tentang perayaan tahun baru?"
"Memangnya ada maksud yang lain?" goda Selasa.
"Kalo yang kamu maksud adalah perayaan tahun baru," ucap saya "saya bukan hanya menjilat ludah sendiri. Saya bahkan sampai menelan ludah itu."
Selasa tertawa puas mendengar jawaban saya. Pertandingan silat kata malam ini dimenangi oleh Selasa.
Setengah dekade ini hidup saya menjadi begitu banyak perayaan karena Selasa. Tiupan terompet saat tahun baru, peluk cium tanggal 14 Februari. Selasa membuat saya melihat kalender tidak lagi hanya kumpulan angka tetapi ada makna di sana.
"Ada banyak hal yang ingin saya rayakan hari ini." ujar saya.
"Perjalanan hidup saya bersama kamu selama setengah dekade, perayaan-perayaan yang selalu kamu buat untuk saya, akhir tahun ini yang jatuh di hari Selasa seperti nama kamu. Dan kalau boleh mencontek ucapan kamu," saya mengerling kepada Selasa. "Saya ingin merayakan kehadiran kamu yang selalu ada di setiap tahun bersama saya. Ternyata, pengulangan itu sendiri patut dirayakan ya La."
Selasa tersenyum dalam diam. Menatap hamparan lampu kota di depan kami.Terkadang saya takut ketika Selasa diam. Pikirannya, saya tidak pernah tau sejauh apa. Saya tidak pernah bisa menebak Selasa. Bagi saya, Selasa seperti pagi yang sulit dibaca. Atau mungkin saya adalah malam yang rumit untuk membaca pagi yang sederhana.
"Li," ujar Selasa. "kamu masih inget ga, gimana pertama kali kita bertemu?"
Masih. Selalu.
"Waktu itu saya sedang bersama Windu di pasar malam" ucap Selasa seperti sedang bermonolog. "Saya sangat senang sekali karena malam itu juga ada karnaval. Suasananya ramai dengan orang. Ramai sekali. Sampai saya harus menggenggam tangan Windu sepanjang perjalanan. Sepanjang jalan saya bercerita tentang masa lalu saya dengan menggebu-gebu. Sampai akhirnya tiba di depan toilet umum. Tiba-tiba saya mendengar suara asing di belakang saya."
Saya tertawa mendengar cerita Selasa. Mengingat perkenalan kami yang bisa dibilang sangat konyol.
"Suara itu bukan suara Windu." tambah Selasa. "Melainkan suara laki-laki yang berucap sebenernya kamu mau membawa saya kemana sih? Saya kaget sekali ternyata orang yang saya genggam tangannya saat itu bukan Windu melainkan kamu. Malu sekali."
"Malu tapi mau?" goda saya.
Selasa menyunggingkan senyum nakalnya, "yang mau itu sebenarnya saya atau kamu? Mau-maunya secara sadar digenggam oleh perempuan asing dan dibawa jalan-jalan."
"Dibawanya nyampe 5 tahun lagi ya La."
Suara kembang api menginterupsi percakapan kami. Warna-warni kembang api memecah gelap langit. Pertanda bahwa pergantian tahun sebentar lagi dimulai.
Selasa menggenggam tangan saya. Genggaman yang tidak pernah terasa usang sejak pertama kami masih menjadi saling asing. Dekade yang baru di depan sana, dan masih ada Selasa di sini.
Selasa menggenggam tangan saya. Genggaman yang tidak pernah terasa usang sejak pertama kami masih menjadi saling asing. Dekade yang baru di depan sana, dan masih ada Selasa di sini.
Saya
melihat genggaman Selasa. Genggaman yang membuat saya teringat kembali
pertanyaan saya ke Selasa 5 tahun lalu. Membuat saya ingin menanyakan
pertanyaan yang sama ketika pertama kali bertemu.
“Selasa, kamu mau
membawa saya kemana?”
Selasa, 31 Desember 2019
Selasa, 31 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar