Pertanyaan kapan
nikah ini rasanya udah ga asing bagi beberapa perempuan. Terlebih perempuan
yang berusia 24 tahun ke atas. Rasanya makin sering aja tuh pertanyaan mampir
ke kuping. Apalagi kalo lebaran. Mendapat pertanyaan kapan nikah seperti
menjadi salah satu rutinitas yang harus dilalui selain solat ied dan makan
ketupat.
Tanggapan gue kalo mendapat pertanyaan kapan nikah adalah gue jawab dengan kalimat ga tau. Beneran karena memang ga tau gue nikahnya kapan. Jangankan
pertanyaan kapan, sama siapanya aja gue kagak tau karena memang lagi single.
Gue pribadi ga merasa risih atau terganggu dengan pertanyaan tersebut.
Mungkin karena fokus, prioritas dan tujuan terdekat gue sekarang belum ke arah sana.
Jadi kalo ada yang nanya kapan nikah kapan nikah ya gue akan menjawab dengan
enteng; ga tau. Gue justru malah
terganggu ketika pertanyaan kapan nikah itu mempunyai pertanyaan turunan.
Contoh:
Spion Supra: Kapan Nikah?
Aku: Wah ga tau nih.
Spion Supra: Udah lulus kuliah, kerjaan udah bagus. Mau cari apalagi? Nanti jadi perawan tua lho.
Bibirku: *tersenyum*
Dalam hatiku:
Mau nyari apalagi ceunah! I was
like, bitch many things?!!
NanTi kEbURu jAd1 peRaWaN tu4 Lh0. Duh rasanya
tiap kali diomongin gitu pengen banget gue becandain, “Dapet keyakinan darimana
tuh kalo saya masih perawan?” And let
them losing their mind.
Gue merasa terganggu ketika seseorang mulai menabrakkan nilai-nilai
mereka dengan nilai-nilai yang gue punya. Mungkin bagi si spion supra, timeline
hidup yang ideal setelah lulus kuliah dan bekerja adalah menikah. Tapi kan
itu bagi hidup dia. Berbeda dengan gue. Apakah salah? Ya tentu tidak. Setiap
orang kan punya pandangan dan tujuannya masing-masing. Akan menjadi salah
ketika menganggap pandangan hidup orang lain salah karena tidak sesuai dengan
pandangan hidup pribadi.
Gue pernah dapet komen dari seseorang seperti ini:
Habis lulus, kan nyari kerja. Habis kerja ya menikah. Terus punya anak. Selain itu memang mau cari apalagi.
Sungguh sangat
Pertanyaan kapan nikah dan segenap pertanyaan turunan lainnya menjadi pertanyaan yang sering digaung-gaungkan mungkin karena mayoritas orang di Indonesia masih memiliki pandangan atau kepercayaan yang konservatif. Pernikahan dianggap sebagai pencapaian sosial dan wajib dilaksanakan bagi setiap orang dewasa yang sudah memasuki usia menikah (Situmorang, 2007).
Kepercayaan atau pandangan konservatif tersebut bisa jadi sudah tidak lagi terlalu relevan di jaman sekarang. Gue kemarin membaca suatu jurnal yang menarik judulnya Modernization and Singlehood in Indonesia: Psychological and Social Impact. Di jurnal tersebut dijelaskan bahwa ternyata pada tahun 1970,
50% pernikahan yang terjadi di US berujung pada perceraian.
Namun data 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa trend perceraian tersebut mengalami penurunan. Tapi hal tersebut terjadi bukan dikarenakan adanya peningkatan kualitas pernikahan. Ternyata menurunnya angka atau trend perceraian tersebut berkaitan dengan penundaan usia menikah, meningkatnya kohabitasi dan meningkatnya individu yang memilih untuk tidak menikah.
Namun data 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa trend perceraian tersebut mengalami penurunan. Tapi hal tersebut terjadi bukan dikarenakan adanya peningkatan kualitas pernikahan. Ternyata menurunnya angka atau trend perceraian tersebut berkaitan dengan penundaan usia menikah, meningkatnya kohabitasi dan meningkatnya individu yang memilih untuk tidak menikah.
Berarti kan seiring berjalannya waktu, terjadi penundaan usia menikah. Pertanyaannya
adalah, mengapa orang-orang jadi cenderung memilih untuk menjadi single dan melakukan penundaan usia menikah?
Setiap orang pasti memiliki alasan personalnya masing-masing. Ada yang memilih menunda usia menikah karena fokus membantu finansial keluarga, fokus ke studi atau fokus ke karir.
Pada jurnal tersebut dijelaskan bahwa modernisasi memiliki dampak kepada singleness. Hal tersebut terjadi karena modernisasi menyebabkan adanya transformasi ekonomi dan politik. Pertumbuhan aktivitas ekonomi menstimulasi adanya urbanisasi, kesetaraan gender, kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang lebih tinggi. Dari sisi psikologis hal tersebut memberi dampak yaitu meningkatnya self efficacy, kemandirian diri termasuk dalam kemandirian secara finansial, menjauhkan dari kepercayaan tradisional dan penerimaan budaya global.
Ada 4 indikator pengaruh modernisasi terhadap persepsi pernikahan (Himawan, Bambling & Edirippulige, 2017) :
1. Kesetaraan Gender
Sekarang perempuan memiliki kesempatan yang cukup tinggi dalam mengakses pendidikan. Semakin banyaknya perempuan yang lulus dari bidang studi pendidikannya, semakin tinggi pula kesempatannya untuk bekerja. Konsekuensi dari semakin banyaknya perempuan yang bekerja adalah pertama, mereka kurang siap untuk menikah karena fokus mereka adalah membangun karir.
Selain itu fokus pada karir juga menyebabkan mereka memiliki sedikit waktu luang untuk mencari atau bertemu dengan pasangan. Kedua, perempuan yang memiliki karir, memiliki kemandirian secara finansial. Mereka tidak lagi "membutuhkan" pernikahan semata-mata hanya agar mempunyai seseorang yang bisa membantu mereka dalam hal finansial atau memiliki tempat untuk bergantung. Perempuan jadi memiliki kebebasan untuk memilih dengan siapa ia menikah. Terdapat standar atau kualitas-kualitas tertentu yang ditetapkan dalam memilih pasangan untuk menikah. Perempuan yang memiliki profesi dilaporkan kesulitan untuk bertemu dengan laki-laki yang sesuai dengan standar dan kebutuhan mereka.
Selain itu fokus pada karir juga menyebabkan mereka memiliki sedikit waktu luang untuk mencari atau bertemu dengan pasangan. Kedua, perempuan yang memiliki karir, memiliki kemandirian secara finansial. Mereka tidak lagi "membutuhkan" pernikahan semata-mata hanya agar mempunyai seseorang yang bisa membantu mereka dalam hal finansial atau memiliki tempat untuk bergantung. Perempuan jadi memiliki kebebasan untuk memilih dengan siapa ia menikah. Terdapat standar atau kualitas-kualitas tertentu yang ditetapkan dalam memilih pasangan untuk menikah. Perempuan yang memiliki profesi dilaporkan kesulitan untuk bertemu dengan laki-laki yang sesuai dengan standar dan kebutuhan mereka.
2. Perubahan Personal Values
Modernisasi mendorong terjadinya urbanisasi. Ketika seseorang pindah atau tinggal di daerah urban maka mereka akan lebih memiliki kesempatan untuk bekerja. Urbanisasi ini menyebabkan seseorang berfokus memenuhi kebutuhan individunya seperti memiliki rumah, mengelola pemasukan dan pengeluaran. Pengambilan keputusan pun cenderung dilakukan secara personal tanpa melibatkan keluarga. Data Badan Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 6,02% orang dewasa yang belum menikah tinggal di daerah urban. Sedangkan terdapat 3,5% orang dewasa yang belum menikah tinggal di pedesaan.
3. Kohabitasi sebagai Alternatif Pernikahan
Kohabitasi masih dianggap sebagai sesuatu yang melanggar baik secara hukum maupun norma di Indonesia. Meskipun kohabtiasi merupakan sesuatu yang belum diterima di Indonesia, prevalensi kohabitasi dalam suatu hubungan mengalami peningkatan. Selain itu, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa para dewasa muda cenderung lebih menerima seks dalam hubungan pra nikah dan non nikah.
4. Teknologi
Modernisasi mengakibatkan pesatnya perkembangan teknologi. Salah satu bentuk dari perkembangan teknologi adalah adanya internet. Internet mempengaruhi lifestyle dan bagaimana seseorang berinteraksi. Kepuasan seksual sering dianggap sebagai faktor pendorong untuk menikah. Dengan adanya internet, seseorang bisa menyalurkan kepuasan seksnya melalui pornografi. Selain itu, semakin cepatnya komunikasi yang terjalin melalui internet, seseorang yang single dapat dengan mudah berkomunikasi dengan orang terdekatnya untuk mengatasi kesepian.
Dari hal-hal di atas menunjukkan bahwa terdapat pergeseran value yang diakibatkan adanya modernisasi. Dan hal tersebut juga mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pernikahan. Mungkin orang jaman dulu ketika sudah lulus sekolah di jenjang pendidikan tertentu, langsung memilih menikah karena belum mempunyai akses atau kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang lebih tinggi.
Sedangkan sekarang, perempuan sudah banyak yang mengambil peran di dunia pekerjaan. Ketika perempuan memiliki pekerjaan dan kemandirian secara finansial, ia bisa jadi memandang pernikahan bukan lagi sesuatu yang harus segera dilakukan agar memiliki tempat bergantung.
Sedangkan sekarang, perempuan sudah banyak yang mengambil peran di dunia pekerjaan. Ketika perempuan memiliki pekerjaan dan kemandirian secara finansial, ia bisa jadi memandang pernikahan bukan lagi sesuatu yang harus segera dilakukan agar memiliki tempat bergantung.
Mungkin value beberapa perempuan sekarang adalah mengakses pendidikan yang lebih tinggi atau karir yang lebih mapan. Pernikahan menjadi urusan sekian. Dan menurut gue itu bukan sesuatu yang salah sih. Manusia memiliki pilihan, hak untuk memilih dan daya mengambil keputusan mengenai hidupnya termasuk perempuan.
Ada orang yang bilang, jangan sekolah tinggi-tinggi nanti ga ada laki-laki yang mau karena takut. Ya terus?! Masak laki-laki yang takut dengan perempuan berpendidikan tinggi terus kita yang jadi harus uneducated dan uncultured? Kan enggak. Lagipula masalahnya kan bukan di pendidikan tingginya. Tapi di rasa takut laki-laki itu. Perempuan meraih pendidikan tinggi juga bukan untuk meng-impress atau memberi pressure ke laki-laki. Tapi untuk jadi pinter lah. Agar tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang seperti itu *gebrak meja* *terbang ke awan*
Ada juga orang yang bilang, jangan nunda-nunda nikah. Nanti keburu tua dan susah punya anak. Gue melihatnya, perempuan seperti tidak diberi kebebasan untuk memilih dan hidup dengan pilihannya. Ketika seseorang memilih untuk menikah di usia katakanlah kepala 3, dia pasti sudah tau dengan segala konsekuensinya. Ketika perempuan memilih pilihan tersebut secara sadar, dia pasti sudah siap dan mempersiapkan konsekuensi tersebut.
Di lain sisi, ada perempuan yang baru menemukan jodohnya di usia segitu. Ya terus lo mau ape? Nyalahin Tuhan? Baek-baek dikutuk jadi tutup botol redoxon. Buat gue, pernikahan adalah sebuah kesepakatan. Kesepakatan yang disepakati oleh si perempuan dan laki-laki yang akan menikah. Bisa jadi di kesepakatan mereka adalah mereka sama-sama sepakat untuk tidak punya anak atau memilih untuk mengadopsi. Jadi sebenernya ga perlu repot-repot ngurusin pilihan hidup perempuan gitu. Toh pada akhirnya, diri kita sendiri yang bakal ngurusin hidup kita. Kecuali masyarakat yang nuntut perempuan untuk punya anak mau pada iuran untuk dana pendidikan anak. SPP anak mahal moms.
Di lain sisi, ada perempuan yang baru menemukan jodohnya di usia segitu. Ya terus lo mau ape? Nyalahin Tuhan? Baek-baek dikutuk jadi tutup botol redoxon. Buat gue, pernikahan adalah sebuah kesepakatan. Kesepakatan yang disepakati oleh si perempuan dan laki-laki yang akan menikah. Bisa jadi di kesepakatan mereka adalah mereka sama-sama sepakat untuk tidak punya anak atau memilih untuk mengadopsi. Jadi sebenernya ga perlu repot-repot ngurusin pilihan hidup perempuan gitu. Toh pada akhirnya, diri kita sendiri yang bakal ngurusin hidup kita. Kecuali masyarakat yang nuntut perempuan untuk punya anak mau pada iuran untuk dana pendidikan anak. SPP anak mahal moms.
"Sialnya" nih, pandangan atau kepercayaan konservatif itu susah diubah karena terbentuknya juga tidak dalam kurun waktu yang singkat. Bukan susah sih bahasanya. Tapi lambat. Membutuhkan cukup waktu yang lama untuk mengubahnya kecuali ada revolusi maha dahsyat mungkin. Jadi perempuan-perempuan yang sering menerima stigma-stigma dibalik pertanyaan kapan nikah dan segala pertanyaan turunannya, bisa lebih berfokus ke dirinya sendiri.
Perempuan (dan juga laki-laki) harus tau sih apa yang mereka inginkan, tujuan dan prioritas hidup. Menurut gue ketika kita tau apa yang kita mau, we don't give a space of others' opinion to bother our lives. Hal ini mungkin akan sulit ketika apa yang kita mau tidak sesuai dengan apa yang support system kita mau terutama orangtua. Butuh effort lebih besar untuk saling memberi pengertian atau win-win solution.
Tidak ada yang salah dari menikah. Dan tidak ada yang salah dari tidak menikah. The important one is do not let others' opinion to lead your life. You own your life. Ketika pilihan yang kita ambil berdasarkan tuntutan, pendapat atau stigma masyarakat tanpa adanya pertimbangan serta proses berpikir yang matang dan rasional, at the end of the day, diri kita sendiri kok yang ngerasain konsekuensi dari pilihan tersebut. Bukan orang lain. Ya sama aja kek kelingking kepentok meja. Yang paling ngerasain sakitnya kan diri sendiri. Orang lain mah ikutan meringis aja
Untuk perempuan-perempuan yang fokusnya sekarang adalah menikah tapi belum berkunjung bertemu jodohnya, semoga segera dipertemukan. Jangan lupa juga untuk terus berproses dan berprogres. Jangan terlalu berfokus mengupayakan sesuatu yang di luar diri sendiri karena seseorang yang harus kamu upayakan adalah dirimu sendiri. And instead of searching the right person, become one.
Perihal pertanyaan kapan nikahnya sendiri, kita ga bisa nuntut orang agar gak nanya-nanya hal tersebut. Kita ga bisa mengontrol perilaku orang lain. The closest thing that we can control is ourselves. Our own responses. Our own behavior. Cara menanggapi pertanyaan tersebut pertama menurut gue kita harus aware dulu.
Jika pertanyaan tersebut menjadi sebuah pertanyaan yang sangat insulting atau bikin kesel, marah dan sebagainya kita harus cari tau, kenapa sih pertanyaan itu bikin kita kesel? Apakah karena orang yang nanyanya? Apakah karena cara dia bertanya? Atau karena sebenernya kita secara tidak sadar memiliki tuntutan untuk menikah ke diri sendiri. Ketika kita tau letak sumber keselnya di mana, kita akan bisa lebih jelas merunut penyebab kekesalan itu dan lebih jelas melihat diri kita terkait pertanyaan kapan nikah.
Jika pertanyaan tersebut menjadi sebuah pertanyaan yang sangat insulting atau bikin kesel, marah dan sebagainya kita harus cari tau, kenapa sih pertanyaan itu bikin kita kesel? Apakah karena orang yang nanyanya? Apakah karena cara dia bertanya? Atau karena sebenernya kita secara tidak sadar memiliki tuntutan untuk menikah ke diri sendiri. Ketika kita tau letak sumber keselnya di mana, kita akan bisa lebih jelas merunut penyebab kekesalan itu dan lebih jelas melihat diri kita terkait pertanyaan kapan nikah.
Salah satu cara untuk merespon langsung pertanyaan tersebut adalah bisa menggunakan humor. Humor tanpa intensi menyakiti tentunya. Gue pernah baca tweet orang yang isinya begini:
"Kamu kapan nikah?| Nanti tante. Saya nikahnya nunggu tante cerai"
Menurut gue hal tersebut tidak perlu dilakukan. Ga perlu lah berusaha menjawab kapan nikah dengan jawaban yang edgy atau savage padahal intensinya menyakiti. Bisa jawab dengan "Oh nikahnya abis isya." atau "Nunggu harga sewa gedung murah. Kecuali situ mau bantu iuran." Atau bisa mengalihkan pertanyaan ke tujuan kita sekarang, "Lagi mau ikut tes CPNS dulu nih. Doain ya." Ketika si penanya mulai mengeluarkan pertanyaan turunan, just ignore them dengan berteriak "AWAS ADA UFO!" lalu pura-pura menggelepar di lantai dengan mulut berbusa.
Remember, other's opinion doesn't define you.
Referensi:
Himawan, K. Bambling, M. Ediripullige, S. (2017). Modernization and Singlehood in Indonesia: Psychological and Social Impact. Journal of Social Sciences, 1-8.
Situmoran, A. (2007). Staying Single in Married World. Asian Population Studies.
Komentar
Posting Komentar