Istilah kesetaraan gender mungkin sudah sering kita dengar atau baca di beberapa media sosial maupun artikel. Tetapi beberapa orang masih memiliki miskonsepsi perihal hal tersebut. Ada orang yang beranggapan bahwa kesetaraan gender adalah gerakan laki-laki versus perempuan. Atau kesetaraan gender adalah simbol genderang perang yang dibunyikan kaum perempuan kepada kaum laki-laki. Seolah laki-laki dan perempuan hidup untuk saling mengalahkan. Padahal sebenarnya tidak seperti itu.
Kata gender itu sendiri menggambarkan tentang
peran dan tanggung jawab yang dibangun secara konstruk sosial yang oleh
masyarakat dianggap sesuai untuk laki-laki dan perempuan. Sementara itu,
kesetaraan gender berarti bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan
power yang sama. Sama dalam hal apa?
Sama dalam hal memperoleh kemandirian finansial, akses pendidikan dan self-development atau pengembangan diri.
Jadi sebenarnya bisa dikatakan bahwa
kesetaraan gender adalah hak asasi manusia atau human’s right. Tapi
sayangnya, dunia bukan tempat bagi sesuatu yang ideal. Ada banyak kesenjangan
yang perlu kita usahakan agar mencapai keseimbangan.
Secara global, perempuan memiliki kesempatan
yang lebih sedikit dalam partisapasi bidang ekonomi dibanding laki-laki.
Perempuan juga memiliki akses yang lebih sedikit dalam bidang pendidikan,
perwakilan politik dan memiliki risiko kesehatan dan keselamatan yang lebih
besar.
Namun, hal yang tidak bisa dan tidak boleh
kita lupakan adalah bahwa isu dan kesetaraan gender ini tidak hanya terfokus
pada perempuan saja. Laki-laki juga memiliki peranan penting di dalamnya.
Terlebih hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, karena tujuan
dari kesetaraan gender adalah mencapai social justice atau keadilan sosial.
Contoh isu gender yang bisa kita ambil adalah
budaya patriarki. Memang betul, budaya patriarki merugikan perempuan. Di dalam
budaya patriarki, perempuan dianggap seperti manusia kelas 2. Laki-laki dianggap
seolah-olah sebagai dewa sedangkan perempuan adalah kerbau yang dicucuk
hidungnya. Laki-laki terlebih dahulu menikmati privilege dalam
memperoleh pendidikan. Bahkan sampai sekarang pun, masih ada beberapa orang
yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu untuk sekolah setinggi mungkin
karena bagi orang-orang tersebut, ‘kodrat’ perempuan adalah di rumah dan di
dapur. Bagi mereka, hidup perempuan hanya sebatas 3M: macak, manak, masak (bersolek,
beranak dan memasak).
Namun di sisi lain, sebenarnya budaya
patriarki juga merugikan laki-laki. Laki-laki
sering diasosiasikan sebagai seseorang yang kuat, tangguh, tidak boleh
menunjukkan emosinya, tidak boleh menunjukkan sisi vulnerable atau
menjadi lemah. Stigma-stigma tidak penting
seperti di atas, terkadang menyudutkan laki-laki pada situasi yang tidak menguntungkan
salah satunya dalam lingkup kesehatan mental.
Literatur
akademis menunjukkan bahwa laki-laki secara signifikan lebih kecil
kemungkinannya untuk menggunakan layanan kesehatan mental dibanding dengan perempuan
dalam menghadapi mental illness. Selain itu, sebuah studi penelitian yang dilakukan oleh Rob
Whitely dan koleganya menunjukkan bahwa suami yang mengalami
penyakit mental, menerima komentar negatif dan perlakuan tidak simpatis dari
keluarganya.
Hasil penelitian Rob dan koleganya juga menemukan bahwa artikel tentang perempuan
dengan penyakit mental cenderung lebih positif dan simpatik, sedangkan artikel
tentang laki-laki dengan penyakit mental lebih banyak berisikan tentang
stigmatisasi dan menghubungkan penyakit mental laki-laki dengan tindak
kejahatan dan kekerasan. Penggambaran
media tersebut dapat berkontribusi pada meluasnya ketakutan terhadap laki-laki
yang mengalami penyakit mental dan menghalangi laki-laki untuk mencari bantuan
kesehatan mental.
Maka dari itu, kesetaraan gender merupakan
sesuatu yang penting untuk diupayakan oleh laki-laki dan perempuan secara
bersama. Stigmatisasi dan diskriminasi gender hanya membuat tembok di antara laki-laki
dan perempuan untuk menolong satu sama lain.
Pendidikan merupakan salah
satu kunci utama dalam mencapai kesetaraan gender. Secara de jure, negara telah menjamin setiap warga negaranya dalam memperoleh
pendidikan. Hal tersebut tertuang di UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi: setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Namun secara de facto, masih ada anggapan dan perspektif masyarakat
menganggap bahwa laki-laki dan perempuan berbeda sehingga mempengaruhi
pemenuhan haknya dalam memperoleh pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik tahun 2020 menunjukkan bahwa persentase perempuan melek huruf lebih
rendah dibanding laki-laki yaitu sebesar 94,55.
Laporan dari UNESCO
menunjukkan bahwa perempuan yang berpendidikan lebih mungkin untuk menunda
pernikahan, bertahan saat melahirkan, membesarkan anak-anak yang sehat,
mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih besar serta hal-hal positif
lainnya.
Melalui pendidikan,
perempuan memperoleh keterampilan untuk berfungsi dan memenuhi kebutuhannya dalam
masyarakat. Dengan keterampilan dan kemampuan tersebut, perempuan dapat hidup
secara mandiri dan percaya diri. Perempuan dapat menjadi berdaya, memiliki
banyak pilihan dan mampu memilih pilihan hidupnya secara sadar.
Perempuan yang nantinya
memilih untuk menjadi ibu, memegang peran sentral dalam mendidik anak. Pengetahuan
dan pendidikan yang dimiliki oleh perempuan akan berdampak pada bagaimana ia
mendidik anak. Seperti istilah, ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.
Pendidikan di sini bukan hanya pendidikan sektor formal tetapi juga sektor
informal.
Maka sangat penting untuk
dibuka akses pendidikan yang sama dan seluas-luasnya bagi perempuan. Dengan
begitu, perempuan dapat mengubah mindset
atau paradigma masyarakat yang merugikan dimulai dari lingkup terkecilnya baik
anak, keluarga atau bahkan dirinya sendiri.
Majunya perempuan bukan berarti kekalahan bagi laki-laki. Jika laki-laki
saja yang memperoleh akses pendidikan dan pemenuhan hak lainnya, maka yang maju
hanya laki-laki. Itu berarti peradaban hanya maju setengahnya. Perempuan perlu
mendapatkan hal yang sama agar peradaban dapat maju seutuhnya.
Komentar
Posting Komentar