Langsung ke konten utama

30 Day Challenge: Gratitude Journal

 Hidupku di tahun 2022 mengusung tema: 
one day at a time, one step at a time. (((mengusung tema))) berasa hajatan komplek ye hidup w👍

Jadi aku memutuskan untuk melakukan sebuah challenge tiap bulannya. Sederhana saja. Tidak perlu yang luar biasa dar der dor membabi buta. Challenges tersebut merupakan langkah-langkah kecil untuk mencapai sesuatu yang besar. Kalau kata Stephen Covey dalam bukunya berjudul 7 Habits of Highly Effective People: langkah-langkah bayi.


Challenge bulan pertama adalah gratitude journal. Aku menuliskan hal-hal yang aku syukuri tiap harinya selama 30 hari. Dengan melakukan challenge ini, secara tidak langsung, aku pun menulis jurnal harian selama 30 hari juga. 

Sebenarnya aku sudah menulis jurnal harian sejak tahun lalu. Sempat kaget karena kali ini aku menulis journal secara konsisten.

Aku dulu paling tidak bisa menulis jurnal harian. Mungkin karena selama ini, prosesku menghadapi emosi ketika menulis tidak langsung. Maksudnya: emosi yang aku rasakan sebelum aku tuliskan pasti diendapkan terlebih dahulu. Jadi tidak raw. Sedangkan menulis journal, aku harus berhadapan dan menghadapi emosiku yang mentah itu dan menuliskannya. 

Ya ampun! Aku awal-awal menulis jurnal harian geli maksimal. Mana ada tuh majas-majas atau diksi meliuk-liuk sana-sini. Draamaaakk isinya. Aku pernah menulis: 

"Kesabaranku rasanya sudah ditepi. Digeser lagi, mending turunkan saja Imam Mahdi." - Kamis, 2 Desember 2021

Hiperbola banget si u @ekadian. Imam Mahdi turun beneran kan repot satu dunia.


Mari kita bahas satu per satu mengenai gratitude journal dan journaling. 

    Gratitude Journal

Aku melakukan challenge ini karena penasaran. My curiosity could kill a t-rex. And my life is a playground for my experiments. Suatu pagi, aku mendengarkan salah satu episode dari podcast Self Improvement Project berjudul: Be More Thankful. Si podcaster membahas tentang bersyukur (ya iyalah). 

Hal lain yang membuatku tertarik melakukan challenge ini adalah ketika podcaster bilang:

     "Writing takes effort. Thinking doesn't take much effort. It just kinda flows. But writing you need to go and get some pen and paper. You need to actually take the time to physically write down the things you are grateful for. 

    Then that words, sentences or experiences turn into deeper thought. It turns into a reflection. And all of these acts up to make this bubble of gratitude be extremely powerful for your perspectives." 

Lalu aku penasaran ye kan. Masak sih? Masak sih? Mari kita coba (insert nada suara Sisca Kohl bener ga tu gue nulis namanya). 

Aku menulis gratitude journal mulai dari tanggal 10 Januari 2022. Challenge tersebut kulakukan selama 30 hari. Tidak ada template khusus bagaimana cara menuliskannya. 

Aku menulis jurnal harian terlebih dahulu lalu menulis hal-hal yang aku syukuri hari itu. Kegiatan journaling kulakukan tiap malam sebelum tidur. Jadi seperti melakukan rekap kehidupan satu hari. 

Tujuanku melakukan challenge ini bukan karena ingin bisa langsung merasakan bahagia ketika sedang sedih. Tidak salah sih bila ingin seperti itu. Tapi buatku pribadi, melalui gratitude journal, aku lebih ingin bisa be calm in the middle of the storm.

Aku kalo lagi sedih ya sedih aja. Tidak mau dan tidak bisa diburu-buru untuk bahagia. Kalau kata Kinan Layangan Putus mah; kasih aku waktu dong, mas. Kasih aku nafas!
  
Aku juga ingin belajar bagaimana caranya tidak berpikir ekstrem kanan atau ekstrem kiri ketika sedang merasakan emosi negatif. Balances out the thought. Balances out the state of mind. Hal-hal seperti itu kan butuh dilatih ya. Aku mencoba menjadikan gratitude journal sebagai media latihannya.

Hal-hal yang aku rasakan selama melakukan challenge ini adalah:
  • Mengapresiasi diri sendiri
    Ada satu momen menyedihkan yang masih aku ingat sampai saat ini yaitu pengumuman yudisium skripsi. Angkatanku merupakan angkatan pertama yang didorong untuk melakukan penelitian 3 variabel. Itu berarti, kami harus lebih banyak baca referensi, bedah jurnal, belajar olah data model 'baru', menggali fenomena lebih dalam dan sebagainya. Exhausting for sure. 
    
     Aku ingat aku harus uji alat ukur 3 kali karena salah satu alat ukur variabelku reliabilitasnya di bawah 0.5. Hal tersebut menyebabkan progres skripsiku tertunda bahkan 'terancam' ganti judul. 

    Aku juga pernah revisi sambil nangis-nangis karena malas skripsian tapi tenggat waktu sidang sebentar lagi. Keliling taman kota-Ciwalk-BIP bersama Dinda untuk mencari responden sampai malam. Aku tuh ingat dan tahu kalau perjuangan skripsianku tidak mudah.

    Tapi saat pengumuman yudisium skripsian di mana aku dinyatakan lulus, aku merasa....biasa saja. Dan bingung. Aku bingung kenapa teman-temanku pada bahagia. Aku bingung kenapa aku merasa biasa aja. Aku sedih kenapa di momen yang aku nantikan aku merasa sedih karena aku tidak merasa senang. 

    Saat itu aku berpikiran, kenapa sih pada seneng? Toh cuma lulus skripsian doang. Lulus skripsian doang katanya! Padahal itu ngerjainnya pakai cucuran keringat, air mata dan duit orangtua hey! Aku ingat sekali, hari itu aku berkata ke diriku; aku pengen deh bisa ngerasa bangga sama diri sendiri. 

    Buatku, gratitude journal merupakan media yang cukup efektif untuk belajar mengapresiasi diri. Aku ingat aku harus mengendarai motor di jalan besar. Aku bisa naik motor tapi belum terbiasa jika harus motoran di jalan besar. Tapi hari itu, mau tidak mau aku harus melakukannya untuk home visit. 

    Untungnya aku berhasil mengendarai motor dengan selamat ya bun. Bisa lah ini langsung daftar ke moto gp (mulai congkak). Di hari itu, aku merasa senanngggg sekali. Meski hanya perkara mengendarai motor di jalan besar. 

    Aku senang karena aku bisa merasa senang terhadap pencapaianku. Aku senang karena akhirnya aku bisa bangga sama diriku sendiri. Aku akhirnya bisa mengapresiasi hal-hal sederhana yang terjadi dalam hidupku. 

  • Switch the Perspectives
    Aku merasa gratitude journal melatihku untuk melihat sesuatu dari berbagai perspektif. Tidak self-sentris. Aku sangat benci suara bising. Apalagi bunyi klakson kendaraan. Sebagai seseorang yang suka jalan kaki, aku sering diklaksonin sama pengendara. Padahal aku sudah jalan di pinggiran. Gue harus merayap di awan atau begimana?!

    Masalahnya, di daerah tempat kerjaku banyak sekali ojek. Dan beberapa dari mereka sering menawarkan jasanya dengan cara mengklaskon. Demi Allah emosi gue langsung terpancing kalo udah diklaksonin. 

    Saat melakukan gratitude journal, aku bisa berpikir dengan sudut pandang lain. Tukang ojek mengklakson-klakson ya karena itu kerjaan mereka. Mereka menawarkan jasanya dengan cara seperti itu. Aku tinggal menggelengkan kepala saja pertanda tidak mau, mereka pun berlalu. Masalah selesai. Sesederhana itu. 

    Being calm in the middle of the storm is about shifting perspectives and seeing the bigger picture. 

  • Balances Out the Thought 
    Selama melakukan gratitude journal, aku tidak berekspektasi dan memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang selalu positif. Ya karena hidup bukan sesuatu yang linear. Berkelok-kelok dia bun. Naik turun bahkan. Dan itu normal. 

    Aku ingin belajar melihat sesuatu yang terjadi dalam hidupku secara berimbang. Biasanya jika ada kejadian buruk di hidupku, aku bisa langsung bete seharian. Bahkan bisa kebawa ke hari berikutnya. Melalui gratitude journal, aku bisa melihat kejadian dalam hidupku dari dua sisi.

    Oke, hari ini ada kejadian yang menyebalkan. Tapi ada juga lho kejadian yang menyenangkan; disapa sama mba yang bersihin kosan dengan senyumnya yang sumringah, dikasih rambutan secara cuma-cuma sama penjual pasar, hasil masakan yang enak. Fokusnya tidak lagi hanya kepada sesuatu yang negatif

A gratitude journal might work on you and might not. And it's totally fine. Self-improvement is about a personal journey. Aku sebelumnya pernah mencoba melakukan gratitude journal tapi belum berhasil. I didn't kinda feel it at that time. 

Aku pun saat itu mencari cara lain untuk bersyukur yaitu dengan berdoa. Doa berterimakasih ke Tuhan tiap selesai sholat isya dengan volume suara yang bisa didengar telingaku (ya kali sampe telinga pak rt). Rasanya tuh seperti mengobrol satu arah dan juga ngomong ke diri sendiri. 

Tapi, aku jadi tidak punya rekaman hal-hal yang aku syukuri. Pas berdoa, gue tidak ada adegan direkam gitu ya bok. Nah dengan gratitude journal, aku jadi punya jejak yang bisa aku lihat kembali. 


    Journaling

Aku mulai menulis jurnal harian sejak akhir Oktober tahun lalu. Saat itu ada kejadian yang sangat membingungkan di hidupku. Dan entah kenapa aku tiba-tiba ingin menuliskan perasaan-perasaanku, kejadian-kejadian yang terjadi di hidupku saat itu dalam buku harian.

Journaling really helps me out to release the emotion and the tension. Jadi lebih jelas aja gitu; oh aku sekarang lagi marah. Aku lagi bingung karena ini, maka dari itu aku ingin begitu. Kadang juga isinya menghujat orang sii bun. Kalau sampai buku harianku hilang, tamat sudah riwayatku. 

Aku juga menggunakan buku harianku untuk mencatat doa. Aku kan loba kahayang yah anaknya. Jadi ketika berdoa tuh kadang suka lama karena mengingat-ingat ini list doa gue sudah terucap semua belum yah? Daripada pusing-pusing, aku catat saja di buku harian. Ketika berdoa, tinggal dibaca. 

Di buku harian aku juga menuliskan apa yang aku inginkan, usaha aku untuk mencapai hal itu, struggle-ku melalui fase dan proses tersebut. Ketika rencanaku tidak sesuai rencana dan hal yang aku inginkan tidak bisa aku dapatkan, aku jadi bisa lebih merasa compassionate terhadap diri sendiri. 

Saat baca-baca tulisan lamaku di buku harian, aku bukan merasa kasihan tapi merasa awww Di, you did the best you can do, we're doing great. It's okay. Let's move forward. 

Ada sebuah kutipan yang sangat aku suka dari Sally MacNamara, salah satu pembicara di TEDxVienna dengan judul What I've Learned from Reading Over 10.000 Diaries. Beliau berkata seperti ini,

    "Our memories are good but they are not great. Our memories are partial, they are not complete. Our memories are not exact. They embellish. But diary entries were written at the very moment of conception that is real life as real as the author sees it at the point in time."

And this is my favourite part: 

    ...everybody has a story and one worthy of sharing. And what better place to place that story than on the pages of the diary. 
 













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta dan Luka dalam Rumah Tangga

Topik materi malam ini menarik sekali bagiku yaitu "Cinta dan Luka dalam Rumah Tangga." Disampaikan oleh Olphi Disya Arinda, M.Psi., Psikolog. Ketika remaja, konsep pernikahan di kepalaku adalah mencari seseorang yang bisa diajak hidup bahagia bersama.  Namun seiringnya berjalannya waktu (tua maksudnya), konsep tersebut menjadi bergeser. Di kepalaku sekarang ketika mencari pasangan hidup bukan lagi soal orang yang bisa diajak hidup bahagia. Tetapi seseorang yang bisa diajak berkonflik bersama. Maksudnya bukan berarti tidak mau bahagia ya. I mean, it's an automatic lah. Siapasih yang tidak mau menikah sama orang yang kita bahagia ketika bersamanya? Tapi tidak semua orang bisa diajak berkonflik bersama secara sehat. Materi malam ini sebagian besar membahas hal tersebut; konflik peran sebagai istri, konflik dalam rumah tangga, kunci dalam konflik, 4 horsemen of apocalypse, dan  fair fight guideline.    PERAN ISTRI Sesi kelas dibuka dengan pertanyaan, bagaimana gambar...

Lapis Legit: Kue Manis, Tak Seperti Janjimu

Sebentar lagi lebaran. Para keluarga pun sibuk mempersiapkan berbagai hal demi menyambut hari kemenangan. Dari yang mulai beli baju lebaran, ngecat pager, renovasi rumah, memberantas kejahatan, sampai nyiapin template buat minta maaf ke mantan. Hmmm. Salah satu tradisi yang gak afdol rasanya kalau gak dilakuin menjelang lebaran adalah, membuat kue lebaran. Keluarga gue salah satu dari sekian milyar keluarga yang melakukan tradisi itu. Keluarga dari nyokap gue merupakan suku asli Lampung. Jadi mereka hari ini membuat salah satu kue khas Lampung yaitu lapis legit. Gue yang belum pernah ikutan buat kue ini jadi penasaran buat ikutan. Yah lumayan kan ya buat jadi bahan ngeblog. Biar tulisan gue di blog ada manfaatnya di mata masyarakat *berdiri di pinggir jurang* *rambut berkibar-kibar* Lapis legit merupakan salah satu kue khas Lampung. Kenapa namanya lapis legit? Itu karena bentuk kuenya yang berlapis-lapis dan rasanya yang legit #InfoKue #SayaBertanya #SayaMenjawab. K...

Review: Puberty Doesn't Hit Me Hard, Skincare Does

Ciao! Come stai? Sto molto bene . Aweu gaya banget kan pembukaan gue pake Bahasa Itali? Maklum, akhir-akhir ini gue lagi belajar Bahasa Italia biar kalo ketemu Rossi gak uu aa uu aa. Btw, quick fun fact: gue baru tau arti zupa (Bahasa Italia) adalah sup. Jadi zupa soup artinya sup sup. Sungguh pengulangan yang sangat mengulang. OKAY ENOUGH FOR THE INTRO! Kali ini gue mau membahas tentang skincare routine gue (cailaaaahh skinker rutin) dan sederet pengalaman gue saat muka sedang jerawatan. Hiks masa-masa kelam itu *nangis di pundak kokoh Ronaldo*   Jadi, gue baru mengenal skinker itu saat usia gue menginjak 22 tahun. Sejak gue puber jaman-jaman SMP itu gue gak ngerti skinker. Gue cuma make facial wash doang. APA ITU TONER APA ITU SERUM APA ITU MOISTURIZER?! Bodoh banget gue dulu tuh soal perawatan kulit. Pas SMP gue nyobain sih make Viva. Tapi pas gue pake milk cleanser dari Viva kulit muka gue terasa panas terbakar gitu. Apaqa kulit qu saat itu menginjak teras nerak...