Tidak ada lagi suara lagu karnaval. Atau warna-warni kembang api maupun rasa manis dari gulali. Semuanya berubah gelap. Dingin. Dan aku sendirian. Suasana yang aku hafal betul. Kamarku. Mimpi itu lagi, batinku.
Aku bangun perlahan.
Menenggak segelas air putih yang kuletakkan di atas nakas. Jam bekerku
menunjukkan pukul satu dini hari. Akhir-akhir ini rasanya tubuhku seperti
mengikuti pola tidur yang aneh. Tidur sekitar pukul sepuluh malam, terbangun
dini hari. Sepertiga malam. Wow, panggilan Tuhan? Lalu tetap terjaga sampai
pagi. Jika aku hidup pada jaman dahulu, sudah dipastikan aku akan direkrut oleh
Bandung Bandowoso untuk membangun seribu candi.
Kurang lebih sudah sekitar seminggu ini aku terbangun karena bermimpi. Mimpi hal yang serupa. Dengan orang yang sama. Kencan. Di karnaval. Bersama dia. Tidak. Tidak ada hal aneh yang terjadi di mimpi itu.
Seperti kecupan-kecupan yang tidak sengaja
terjadi, misalnya. Fakta bahwa ku bisa memimpikan dia saja membuatku setengah
gila. Apalagi mengharapkan terjadinya tabrakan-tabrakan penuh romantisme antara
dua bibir. Ku rasa aku sudah mengalami kegilaan absolut jika memang benar
menginginkannya. Ya Tuhan, aku harus segera berwudhu!
Suara dering telepon menginterupsi lamunan liarku. Aku menatap layar ponsel, membaca nama yang tidak asing. Dia lagi.
"Belum tidur?" tanyanya. Padahal aku belum sempat mengucap halo atau salam layaknya tindakan orang suci.
"Sudah." jawabku.
"Kebangun?"
"Ya."
"Mimpi buruk lagi?"
Aku terdiam sesaat. Menimbang pertanyaannya. Mimpi buruk? Sejak
seminggu yang lalu, definisiku tentang mimpi buruk menjadi rancu. Apakah mimpi
buruk disebut mimpi buruk karena terjadi hal buruk di mimpi atau terjadi hal
baik namun itu hanya sekadar mimpi?
Aku menjawab ragu, "mungkin."
"Kali ini mimpi apa? dia bertanya kembali. "Tarung sama
kuntilanak lagi?"
Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Terakhir kali aku meneleponnya pagi-pagi buta karena menceritakan mimpiku yang aneh. Aku tarung dengan kuntilanak. YA! KUNTILANAK! Sudah gila.
Aku bermimpi masuk ke rumah kosong. Seperti rumah yang dulunya dijadikan kost-kostan. Terdapat banyak kamar yang sudah tidak layak huni dan kotor. Di rumah itu, aku bermimpi dikejar-kejar kuntilanak dari satu kamar ke kamar lainnya. Aku yang sudah lelah berlari hanya bisa terduduk di lantai salah satu kamar.
Namun kuntilanak tersebut tidak juga bertobat mengejarku dan malah
melayang menghampiriku. Diriku yang sudah hilang kesabaran dan juga akal,
akhirnya memutuskan untuk berlari menerjang kuntilanak itu sambil berteriak, "ALLAHU
AKBAR." End of the story.
"Ekhem!" dia meminta jawaban dariku yang hanya tertawa sedari tadi.
"Bukan kok." jawabku di sela-sela tawa. "Eh, kamu ngapain tiba-tiba menelepon?" aku berusaha membelokkan topik pembicaraan.
Aku dan dia memiliki suatu kebiasaan. Aku menelepon dia dini hari karena habis mimpi buruk. Dia meneleponku dini hari karena tiba-tiba ada sesuatu yang penting (kadang juga tidak penting) terlintas di kepalanya. Dan hari ini, ritual telepon-menelopon terjadi karena alasan yang kedua.
"Ada yang ingin aku sampaikan."
Aku menghela nafas. Menanggapi ucapannya malas, "yaitu?"
"Aku suka...."
Aku tersentak. Tubuhku tiba-tiba terduduk tegak. Tenggorkanku tercekat. Aku merasakan otot-otot di leherku mulai menegang.
"S-suka?" tanyaku gugup.
"Ya!" jawabnya lantang. "Aku suka sama cover lagu yang kamu unggah kemarin."
Oh.
Dari kalimat yang ia lontarkan, aku tahu kemana arah pembicaraan ini sebenarnya. Sejak duduk di bangku SMP, dia selalu menceramahiku. Kamu itu perempuan dengan suara paling bagus yang pernah aku dengar, katanya. Well, dia bisa berbicara seperti itu karena belum mengenal Madonna, Xtina, Siti Badriah.
Kamu tuh ya, coba deh jangan sia-siain pemberian Tuhan. Pas nyiptain suara kamu, Tuhan pasti sedang dalam keadaan yang prima! Ya...ya...ya..Kalau Tuhan sedang prima saat menciptakan suaraku, apakah Tuhan sedang sakit kepala saat menciptakan suaranya? Buta nada. Ganggu. Kalo lagi nyanyi.
Kamu tuh punya mimpi ga sih? Mimpi buat jadi penyanyi? Suara sebagus ini tapi hidup gini-gini aja. Sialan. Benar juga omongannya.
Sebelum bertemu dia, yang aku tahu hanya bernyanyi. Suka menyanyi. Buatku, itu saja sudah cukup. Tetapi sejak mengenalnya, semenjak percakapan 11 tahun lalu itu, aku sadar hidupku tidak cukup sekadar 'hanya suka'. Aku mulai berani bermimpi.
Ini namanya soundcloud. Di platform ini, kamu bisa merekam suara kamu,
kamu unggah dan taarrraaaa semua orang bisa mendengar suara kamu nyanyi.
Selamat datang di abad 21! Ia menjelaskan panjang lebar tentang soundcloud di
suatu pagi pertengahan tahun 2010 seolah-olah aku manusia purba. Aku tahu soundcloud kok.
Saat itu aku hanya belum punya! Takut untuk punya. Takut tidak ada yang
suka.
Kamu ga perlu takut ga ada yang dengerin. Dia menambahkan. Seolah-olah bisa membaca pikiranku saat itu. Kamu akan selalu punya pendengar setia. Pendengar nomor satu. Aku!
Semenjak itu, aku mempunyai pendengar setia. Orang yang mau mendengar. Membuatku merasa didengarkan.
"Aku ini baru kebangun." ujarku kesal. "Jangankan nyanyi. Urutan tangga nada saja mungkin aku lupa."
"Kamu yang gantian nyanyi dong." aku balik memerintah. Yah hubungan pertemanan kami memang semi militer.
"Ngg..." dia menjawab ragu. "suara aku kan gak bagus."
"Fakta." sahutku.
"ITU KAN KAMU YANG BILANG!" teriaknya. Ya ampun dia ini. Rasanya aku perlu ke dokter THT karena nyaris tuli. "Kamu sadar gak sih, omongan kamu bisa mematikan motivasi seseorang? Siapa tau aja aku sebenarnya berpotensi menjadi pop star. MEGA BINTANG!"
Aku menghela nafas. Menahan diri untuk tidak melanjutkan drama kehidupan ini. "Kalo kamu jadi pop star, billboard pasti lebih milih untuk gulung tikar. Udah deh nyanyi aja kenapasih? Aku mau denger lagu yang kamu pilih."
Dia terdiam. Entah sedang tertampar kenyataan atau diam-diam sedang menyelinap keluar kamar, memanggil taksi, menuju rumahku lalu mengendap-endap menerobos kamarku dan berakhir dengan memukuliku dengan benda tumpul akibat ucapan-ucapanku yang anarkis.
"Sebenarnya...." dia tiba-tiba bersuara. "ada lagu yang ingin aku dengerin ke kamu. Tapi aku malu nyanyinnya."
Aku menunggu kelanjutan ucapannya. Terdengar suara ia sedang membuka laci meja. Mengambil sesuatu di dalamnya.
"Kamu dengeri dari ipod aku aja ya?" dia menawarkan. "Lagu yang ingin aku dengerin ke kamu. Dari dulu."
I will never know
Cause you will never show
Come on and love me now
Come on and love me now
I will never know
Cause you will never show
Come on and love me now
Come on and love me now
Come on and love me now
Carnival
Came by my town today
Bright lights from giant wheels
Fall on the alleyways
And I'm here
By my door
Waiting for you
Di sini, hatiku bergetar mendengarnya. Membuatku akhirnya menyadari. Mengakui.
Sesuatu telah terjadi di hatiku.
Dan kamu tidak tahu.
***
Maka dari itu terdapat perbedaan
antara apa yang muncul di mimpi dan makna sebenarnya dari mimpi tersebut. Freud
menyebutkan, mimpi merupakan pemenuhan akan suatu keinginan.
Mimpiku seminggu terakhir ini, aku tidak mencoba menganalisisnya lebih dalam. Menganalisis mimpi bukanlah sesuatu yang sederhana. Dan aku bukanlah 'ahli tafsir mimpi.' Yang aku tahu, ada dia di mimpiku.
Sometimes a cigar just
a cigar, said Freud.
Aku bermimpi tentangnya. Aku memimpikannya.
Malam ini aku memimpikannya lagi. Kali ini tempatnya di cafe yang
baru saja buka di kota kami. Bangunan dua lantai. Di lantai dua terdapat
beranda yang langsung menghadap gedung menjulang tinggi. Aku dan dia duduk di
beranda itu. memandang lampu-lampu gedung yang terlihat bagai cahaya bintang
yang berjejer vertikal.
***
Cara berpakaiannya masih sama. Kemeja biru andalannya yang dipadukan dengan celana khaki. Yang berbeda adalah, hal yang ia bicarakan. Ia berbicara mengenai mimpinya. Di mimpiku. Ia bercerita ingin jadi apa ia 10 tahun nanti. Dia bilang, dia ingin menjadi arsitek. Aku tahu. Sudah hafal betul tentang mimpinya yang ini.
Dia juga bercertia, ingin dengan siapa ia akan hidup 10 tahun nanti dan selamanya. Untuk mimpinya yang satu ini, aku tidak tahu jawabannya. Dia juga sama. Dia tersenyum jahil, nah kalau yang ini masih tanda tanya.
Aku memandangnya. Tiba-tiba saja matanya menjadi lebih menarik ketimbang pantulan lampu jalanan kota. Dari sorot matanya, aku seolah mendapat keberanian. Melepas semua penyangkalan. Nyatanya, penyangkalan-penyangkalan tidak pernah membawaku kemana-mana.
Aku mau. Aku mau jadi bagian dari mimpi kamu. Aku mau terlibat di mimpi kamu. Aku mau aku ada di hidup kamu. Aku mau jadi jawaban dari tanda tanya itu. Dan aku mau kamu tahu kalau aku mau.
***
Malam ini merupakan malam sangat penting. Ku pastikan malam ini aku tidak akan lagi bermimpi. Kota kedatangan karnaval. Karnaval yang sama seperti di mimpiku tempo hari. Namun kali ini nyata. Dia nyata ada di sampingku sekarang. Meskipun kami tidak pernah resmi menganggap malam ini adalah kencan. Persetan. Peduli apa soal nama? Sekarang yang kubutuhkan adalah keberanian. Bersama dia, aku tidak hanya ingin sebatas bermimpi.
Aku berjalan pelan di sampingnya. Seolah tiap langkahku bisa menginjak rudal yang mampu membuat setengah penduduk dunia binasa. Aku menghembuskan nafas satu-satu. Gila. Sekarang dia bisa membuatku lupa caranya bernafas dan berjalan dengan normal. Udara terasa menjadi lebih dingin. Aku merapatkan jaket. Membuat perhitungan di pikiranku sendiri.
"Kamu kenapasih?" tanyanya tiba-tiba. "Kebelet buang air besar?"
Aku mendengus kesal. "Iya! Soalnya liat muka kamu sih." Bagus. Lupakan caranya menjadi perempuan manis. Aku siap menjadi perawan tua dan menempuh karir sebagai biarawati selamanya.
"Ya ampun!" ia berteriak histeris dengan tampak sok cemas level dewa. "Jangan buang air besar di sini dong. Aku gak punya tisu. Yuk cari pasir yuk. Aku temenin."
Tuhan, kenapa hamba harus memiliki perasaan terhadap kemoceng rontok ini?
Dia tertawa terbahak-bahak melihat tampangku yang berubah masam. "Terus kenapa? Coba cerita sini sama om." ucapnya sambil mengacak-ngacak tatanan rambutku yang paripurna.
Aku menimbang-nimbang. Apakah sekarang momen yang tepat? Atau nanti? Saat di perjalanan pulang? Atau saat sudah sampai di depan pagar rumah? Siapapun, tolong selamatkan dengkulku.
"Nggg...aku...." aku berujar ragu.
Ia merundukkan kepala. Membuat mataku dan matanya bertemu. Wangi parfum dan bau maskulinnya beradu di udara.
"Kenapa? Hm?"
Sialan! Kenapa harus sedekat ini sih?! Jantungku rasanya berdetak sangat cepat. Ketampanan sialan! Jantung sialan! Berhentilah berdetak! Oh tidak tidak! Jangan berhenti berdetak sekarang. Aku tidak mau mati berdiri.
Bisa kurasakan keringat menetes di pelipisku. Kenapa harus setegang ini sih? Manusia di hadapanku ini hanya laki-laki biasa yang telah ku kenal bertahun-tahun lalu. Bukan Henry Cavill! Baik...Tenang...Semuanya baik-baik saja....Tarik nafas....Hembuskan...Ingat semua quotes Budha. Tenang.....
"Emmm...Aku..."
Dia menaikkan sebelah alisnya menunggu jawaban.
"AKU MAU CARI PASIR! UDAH DI UJUNG BANGET NIH!" Sahutku tiba-tiba sembari berlari menuju kedai es krim di belakangnya. Kemana sajalah!
Dia menarik lenganku. Membawa tubuhku berhadapan sejajar dengan dadanya.
Demi tupai naik kopaja! Bertahun-tahun aku mengenalnya dan kali ini untuk pertama kalinya aku tidak berani memandang matanya.
"Apa?" tanyanya. Suaranya berubah serius. Udara terasa menjadi semakin dingin. Aku tidak bisa merapatkan jaketku kemana-mana.
Aku menghela nafas kuat-kuat. This is it.
"Aku mau tanya."
"Silahkan."
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mulai memberanikan diri. Menelan semua ketakutan dan juga kemungkinan-kemungkinan.
"Kita ini, sebenarnya apa?"
Dia melepas genggaman tangannya dari lenganku. Menatapku bingung seolah-olah aku baru saja melontarkan pertanyaan paling tidak masuk akal kedua setelah pertanyaan apakah bumi itu bulat atau datar.
Kulihat dirinya memandang sekeliling. Seperti mencari jawaban dari keramaian.
Ia menatapku. Menunduk.
"Teman." jawabnya sambil menggaruk kepala.
Dude, really?
Aku mendecak kesal. Kutelan semua sumpah serapah yang ingin kulontarkan. Si bodoh ini. Sebenarnya dia tidak mengerti atau mengerti sepenuhnya kemana arah pembicaraanku sih?
Aku menggenggam erat pinggiran jaketku. Kepalang basah. Mandi kalau bisa berenang sekalian. Tidak ada lagi kata mundur. Tida ada momen lain selain saat ini. Momen yang tepat adalah momen yang dibuat.
Mataku menantang matanya. Mimpiku pasti menjadi nyata.
"Aku kira, kita lebih dari teman."
Ia tertawa pelan. Tampak mulai mengerti maksud pembicaraanku.
Perlahan dia berjalan mendekatiku.
Tidak ada lagi udara dingin.
Hangat tubuhnya kini mendominasi.
Ia tersenyum. Tangannya mengusap lembut pipiku.
Terima kasih untuk tulisannya, bumbu-bumbu penyedap yang ditambahkan membuatnya semakin gurih untuk dinikmati!
BalasHapus