Dalam mitologi Yunani, muse merupakan dewi-dewi yang menjadi inspirasi terciptanya karya seni, sains dan sastra. Ada 9 muse: Clio, Thalia, Erato, Eutrepe, Polyhymnia, Calliope, Terpischore, Urania dan Melpomene. Kesembilannya adalah anak perempuan Zeus dan Mnemosyne. Dalam kehidupan sekarang, yang menjadi muse seorang seniman tentu bukan lagi dewi-dewi ini, tapi seseorang yang bisa menimbulkan percikan inspirasi. Bisa satu orang, bisa juga semua orang yang ditemui penulis sehari-hari.
- The Architecture of Love, Ika Natassa
Hari ini Bandung lagi hujan. Hari ini ada film Perahu Kertas di televisi. Hari ini lagi kenapa? Gue gak pernah nonton film Perahu Kertas sebelumnya. Gue malah lebih dulu baca novel Perahu Kertas ketimbang menonton filmnya. Novel Perahu Kertas karya Dee Lestari merupakan salah satu novel yang berhasil buat gue nangis sesengukkan. Entah karena sentimen. Atau sedang teringat seseorang.
Gue inget banget pertama kali baca novel Perahu Kertas tuh tahun lalu sekitar bulan Desember menuju Januari. Bulan di mana gue akhirnya memutuskan sesuatu yang selama bertahun-tahun harusya telah gue putuskan. Berhenti naik komidi putar. Berhenti mencintai seseorang yang gak membuat gue kemana-mana. Mungkin, berhenti mencintai bukan kata yang tepat. Gue gak mau jadi pembenci dan dia bukanlah benda mati. Kalo gue berhenti mencintai, terus perasaan ini namanya apa? Perasaan tanpa nama bahkan lebih berbahaya bukan? Entah apa itu namanya, di bulan itu, gue memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Dan novel Perahu Kertas, merupakan salah satu yang mempengaruhi keputusan gue.
Kalo lo seorang seniman, atau katakanlah lo seseorang yang mempunyai hobi dalam bidang seni. Entah itu melukis, menyanyi atau menulis, lo pasti punya setidaknya satu orang yang menjadi sumber inspirasi lo. Entah itu seseorang yang lo suka, cinta pertama, atau masa lalu. Dan seseorang yang menginspirasi tersebut, seperti kutipan yang gue tulis di atas, disebut sebagai muse. Gue (pernah) punya. Muse. Seseorang yang benar-benar berpengaruh untuk tulisan gue. Memang ada banyak hal yang gue tulis, banyak kejadian yang ditulis, dan banyak orang yang pernah gue tulis. Tapi di saat gue duduk diam di depan laptop, melihat ke dalam diri untuk benar-benar ingin jujur terhadap diri sendiri, maka seperti otomatis akan hadir nama seseorang. Muse gue.
Gue kira, gue punyak banyak muse. Secara, gue mulai belajar menulis dari kelas 2 SMP. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, gue cuma punya 2 muse. Selama ini. Hanya dua. Dan semoga bukan hanya dua. Mungkin tidak banyak seseorang yang memberitahukan muse mereka ke orang banyak. Tapi bagi gue, gue rasa perlu. Entah mereka membaca atau tidak, tapi ini merupakan salah satu cara gue untuk berterimakasih.
Muse gue yang pertama, dia adalah cinta pertama gue. Cinta pertama yang bahkan sampai detik ini, sampai saat tulisan ini diketik, gue gak pernah mengungkapkan perasaan tersebut kepada dia. Dia temen gue. Dari TK. Dia adalah inspirasi gue untuk menulis novel pertama gue. 5 tahun gue punya rasa sama dia, dan selama 5 tahun itu juga gue gak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan tersebut. Dia merupakan seorang teman yang sama-sama suka membaca. Gue berterimakasih kepada dia, karena dari dia gue bisa tau buku Lupus, gue bisa kenal buku-buku Raditya Dika. Dia suka baca. Gue suka orang yang membaca. Gue suka dia. Dia juga jago menulis. Tulisan dia unik. Lucu. Yahhh mirip style-nya Raditya Dika lah. Konyol tapi penuh meaning. Dari TK, SD, SMP sampe SMA, gue satu sekolah sama dia. Bahkan ketika kuliah, kami kuliah di kota yang sama. Ini dunia yang terlalu sempit atau kehidupan gue yang kurang luas? Walaupun gue dan dia kuliah di kota yang sama, tapi kami baru bertemu di Bandung tahun kemarin pada suatu event. Ada perasaan yang aneh setelah bertahun-tahun gue gak ketemu sama dia. Bukan perasaan cinta menggebu-gebu layaknya remaja usia 15 tahun yang baru pertama kali jatuh cinta. Bukan perasaan rindu yang menuntut untuk bertemu. Entah. Gue gak tau apa namanya. Saat ngeliat dia lagi setelah sekian lama gak ketemu, gue seneng. Gue seneng dia tumbuh dengan baik. Gue seneng dia melakukan sesuatu yang merupakan passion-nya. Gue seneng, dia baik-baik saja. Perasaan ini, bukan lagi perasaan seseorang terhadap cinta pertamanya. Tapi perasaan ini tidak lantas mati lalu menghilang. Perasaan ini berubah. Menjadi kepedulian. Gue peduli terhadap dia. Terhadap hidupnya. Terhadap apapun mengenai hidupnya. Dia bukan hanya cinta pertama, tapi juga seorang teman. Dan dia, merupakan seorang teman yang mungkin sampai kapanpun, perjalanan hidupnya akan mampu membuat gue berucap "jadi kamu tumbuh menjadi seseorang yang seperti ini." Gue gak lagi punya perasaan yang sama seperti 10 tahun yang lalu. Perasaan gadis 15 tahun terhadap cinta pertamanya. Tapi gue peduli, dan selalu ingin menjadi seseorang yang bisa menolong dia. Perasaan itu yang gak berubah. Masih sama. Seperti 10 tahun yang lalu.
Lalu, muse gue yang kedua adalah, seseorang yang membuat gue jatuh cinta pada percakapan yang kedua. Gue kenal dia saat di bangku kuliah (gue nulis kek gini seolah-olah gue udah lulus aje ye). Cukup lama gue memendam perasaan ini sama dia. Tapi gak sampai 5 tahun. Dan kali ini, gue berani untuk menyampaikan. Gila? Emang kapan gue pernah waras? Dia adalah alasan untuk gue akhirnya buat blog. Dia adalah seseorang yang buat gue jadi sangat produktif untuk menulis. Dia adalah seseorang yang membuat gue untuk pertama kalinya bisa menulis cerpen. Dia adalah dia, yang kalo boleh mengutip kalimat Dee dalam buku Rectoversonya, dia adalah seseorang yang hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Saat itu, gue tau perasaan gue terhadap dia. Tapi gue gak pernah tau perasaan dia terhadap gue, sampai saat ini. Mungkin apa yang pernah dia katakan benar, terkadang memang ada pertanyaan yang tidak usah ditemukan jawabannya. Jatuh cinta sama dia itu kayak lagi di amusement park. Kadang kayak lagi naik roller coster yang penuh adrenalin. Kadang kayak naik histeria yang rasanya dibikin naik setinggi-tingginya untuk kemudian dijatuhin tiba-tiba. Dan kadang, rasanya kayak naik komidi putar. Bergerak, tapi sebenarnya tidak kemana-mana. Gue berani mengungkapkan perasaan gue kepada dia. Tapi gue gak pernah cukup berani untuk menanyakan perasaan dia terhadap gue. Temannya pernah bercerita bahwa dia sedang mencintai orang lain. Gue mencintai cinta yang sedang mencintai cinta yang lain. Gue gak marah. Gue sedih. Bukan karena perasaan gue bertepuk sebelah tangan, tapi karena gue melihat seseorang yang gue cintai merasakan patah hati. Bertahun-tahun gue membiarkan perasaan ini untuk tetap ada. Bertahun-tahun setiap tengah malam, gue selalu nulis tentang dia. Gue gak mau berhenti. Tapi di sisi lain gue ingin berhenti. Perasaan ini memang penuh kontradiksi. Dia bukan hanya muse bagi gue. Dia merupakan seorang kakak, seorang teman, seorang musuh, seorang pendengar setia, tempat berbagi mimpi. Gue takut untuk berhenti. Gue takut kehilangan dia, dengan segala banyak perannya. Hingga suatu saat, di suatu titik, gue memutuskan untuk berhenti. Tanpa pernah berani bertanya, apa selama ini dia punya perasaan yang sama? Setelah gue memutuskan untuk berhenti, rasanya gue lari menjauh dari segala apapun tentang dia. Gue hanya lari, bukan lupa. Gue masih inget kapan hari ulang tahunnya, gue masih inget apa salah satu mimpinya, gue masih inget gimana gengsinya dia, gimana dia gak pernah mau kalah, gimana dia ngeladenin sifat kekanak-kanakan gue, gimana cintanya dia sama Bandung, siapa temen baiknya, makanan kesukaannya, style berpakaiannya, warna jaketnya, wangi parfumnya. Gue masih inget. Selama ini, gue hanya berusaha ingin lupa. Dia adalah seseorang yang selalu ingin gue bantu. Gue gak peduli siapa yang ada di hatinya, gue selalu mau menolong dia. Tanpa dia minta. Ada salah satu kutipan di novel Perahu Kertas yang membuat gue tersenyum getir saat membacanya. Percakapan antara Kugy dan Remi ketika Remi tahu bahwa buku dongeng pemberian Kugy untuknya sebenarnya merupakan hadiah untuk Keenan. Remi berkata, "Carilah orang yang nggak perlu minta apa-apa, tapi kamu mau memberi segalanya." Kugy menjawab, "Tapi orang itu kan kamu. Aku gak pernah minta apa-apa tapi kamu kasih semuanya." Lalu Remi menjawab "Iya Gy. Kamu mungkin sudah ketemu. Saya yang belum." Iya, kamu mungkin sudah ketemu. Saya yang belum.
Hari-hari selama berlari menjauhi dia tidaklah mudah. Dia sebagi muse yang selalu menjadi inspirasi gue, terpaksa gue buang jauh-jauh. Rasanya catatan gue seperti lembaran kertas kosong yang gak bisa ditulisi apa-apa. Langit terasa hitam. Dan hari selalu malam. Padahal Dee pernah berkata dalam novel Perahu Kertasnya, kadang-kadang langit bisa kelihatan seperti lembar kosong. Padahal sebenarnya tidak. Bintang kamu tetap di sana. Bumi hanya sedang berputar. Itu benar. Kamu tetap di sana. Tidak pernah kemana-mana, sebagai muse saya. Kamu tetap menjadi apa yang bisa saya tulis. Yang perlu saya lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri dan mengakui, saya tidak pernah bisa membunuh kamu di kepala saya. Sama seperti cinta pertama saya, kamu adalah apa-apa yang tidak bisa terganti. Karena adalah kalian adalah muse saya. Seseorang yang memberi saya kehidupan. Sebab ketika menulis, saya merasa hidup. Dan kalian, adalah sesuatu yang pernah saya tulis.
Terimakasih.
Komentar
Posting Komentar