Beberapa tahun belakangan ini gue sedang belajar dan mempelajari sesuatu yang menyenangan tetapi tidak mudah: diri sendiri. Ada suatu kejadian yang memutar balikkan sudut pandang gue selama ini. Patah hati. Emang sih kedengarannya cupu banget. Ah elah patah hati doang. “Cuma” patah hati. Gue juga tau sih hidup ini gak cuma cinta-cintaan doang. Tapi momen patah hati gue ini secara ajaibnya mempengaruhi dimensi-dimensi kehidupan gue yang lain.
Gue juga sebenarnya bingung sih sama diri gue sendiri yang sampai sebegininya belajar untuk merekonstruksi bagian-bagian dari diri gue yang patah. Maksudnya, dulu setiap gue putus, move on mah move on aja. Gue pernah sesumbar bahwa gue adalah orang yang gampang move on. Based on my date experiences, itu benar adanya. Tapi momen patah hati kali ini adalah pengalaman yang baru buat gue. Dia bukan pacar gue. Bukan juga HTS. Bukan pula TTM. Yah sebut saja dia adalah orang yang gue nyaman sama dia. Dulu setiap gue abis putus, landasan move on gue tuh cetek aja gitu. Oh gue bosen sama dia. Gue gak bisa menjalin hubungan sama seseorang yang kalo boleh pinjam kalimat Marie Kondo, “tidak sparks joy” lagi di hidup gue. Oh dia gak respect sama gue. Dia terlalu over sama gue. Secetek itu. Tetapi patah hati gue kali ini membuat gue untuk memutar sudut pandang gue menjadi melihat ke dalam diri gue sendiri dan melakukan evaluasi habis-habisan.
Seperti yang gue bilang tadi, patah hati gue kali ini adalah pengalaman baru buat gue. Gue gak tau gimana caranya move on dari orang yang bukan pacar gue tapi gue merasa lekat banget sama dia. Jadilah gue berusaha mencari cara sendiri, mencobanya satu-satu. Selama usaha-usaha dan percobaan yang gue lakukan, gue jadi menyadari sesuatu. Move on itu tidak sesempit sudah atau belum. Lebih dari itu. Sebuah proses trial and error dan memutar-mutar sudut pandang.
Proses yang gue jalani selama ini sangat tidak mudah. Gimana gue selama ini bertarung untuk keluar dari perasaan dan sikap negatif seperti, self doubt, never be enough, denial, inferior, low self esteem, demanding, blaming. Gue sadar perasaan-perasaan tersebut bikin gue jadi gak sehat banget. Gue jadi merasa seperti manusia yang jalan di lorong panjang dan gelap. Padahal jalan gue adalah semesta. Luas. Sampai akhirnya gue berada pada satu titik, wah gak bisa nih kek gini. Gue harus kembali sehat, gue harus keluar dan melihat sekitar, balik ke jalan gue yang banyak warna dan luas. Bukan lorong satu arah yang gelap.
Thank God and myself, selama proses ini gue tidak pernah melakukan upaya yang sifatnya destruktif. Ya logika gue sederhana aja sih, ya kali hati dan batin gue udah sakit terus gue nyiksa fisik gue juga gitu. Salah satu cara yang gue lakuin untuk menjadi sehat adalah dengan traveling. Waktu itu gue jalan-jalan ke Jogja. Gue seneng banget sih sama kota Jogja. Di sana banyak temen-temen SMP dan SMA gue, tempat-tempat wisatanya juga banyak mengandung cerita seperti candi, keraton, bahkan hanya sekadar jalan. Hal yang paling gue suka dari traveling adalah ketika gue duduk di kendaraan. Kadang, yang dicari dari traveling bukanlah tempat tujuan. Melainkan perjalanan. Duduk berjam-jam di kendaraan hanya untuk diam. Berpikir. Apa yang salah. Selama gue duduk di kereta menuju ke Jogjakarta pada malam hari, gue duduk sambil melihat keluar jendela yang gelap dan bertanya-tanya, kenapa ya? Apa sih yang salah? Ketika gue menatap keluar jendela, gue menyadari bahwa gue tidak melihat apa-apa kecuali bayangan gue sendiri. Gue kemudian tersadar bahwa selama ini gue terlalu sering mencari jawaban dari luar diri gue. Padahal jawaban itu ada di dalam diri gue sendiri.
Selama traveling gue ketemu banyak orang, tempat-tempat baru, temen-temen baru. Banyak sudut pandang baru yang gue dapet selama di Jogja. Hidup adalah tentang sudut pandang. Gue bisa aja menganggap patah hati gue ini merupakan kisah cinta paling tai kucing dan sia-sia sedunia. Tapi kalo gue putar sudut pandang gue ke arah lain, memandang dengan cara yang lain, gue jadi bisa melihat sesuatu yang selama ini tidak bisa gue lihat. Mungkin kalo gak patah hati, gue gak akan melakukan perjalanan ke kota lain, gue gak akan ketemu temen baru, ke tempat-tempat baru seperti pantai kidul yang ternyata jalannya sangat nauudzubillah dan bahkan mungkin gue gak akan pernah berbicara dengan diri gue sendiri.
Gue inget suatu malam, gue pergi ke Bukit Bintang hanya memakai kemeja tanpa jaket. Di sana gue berdiri memandang lampu-lampu kota dan mencoba berdialog dengan diri sendiri. Berdialog tentang apa yang gue inginkan, nilai-nilai hidup gue dan bagaimana gue kembali menjadi seseorang yang sehat dan damai. Di Bukit Bintang, gue menyadari bahwa, terkadang kita hanya butuh duduk atau berdiri sendirian. Memandang sesuatu dengan cara yang lain. Kemudian mulai menimbang perkataan Plato bahwa benar adanya, tidak ada namanya gelap, yang ada hanyalah kekurangan cahaya. Gue mungkin sedang kekurangan cahaya. Atau sengaja meredupkan cahaya lalu mati lamat-lamat. Gue harus memilih. Memilih untuk menyerah kemudian mati. Atau bangkit untuk berdiri. Sebab hidup adalah soal pilihan. Bukan esai. Maupun isian singkat. Satu hal yang harus gue yakini bahwa pada akhirnya, semua pertanyaan akan terjawab. Segala perasaan yang seolah tak berujung akan menemui ujungnya. Yang dibutuhkan hanyalah waktu. Dan waktu membutuhkan gue untuk mengalami. Dan mungkin pada akhirnya yang paling akhir, yang perlu gue lakukan (atau mungkin juga manusia lainnya) ialah menerima dan berdamai dengan diri sendiri. Dan akhirnya, di hadapan ribuan cahaya yang terbentang. Di atas bukit yang bernama Bukit Bintang. Gue menunduk dan membulatkan tekad. Gue harus kembali berjalan. Akan selalu ada cahaya. Akan selalu ada jalan.
Upaya lain yang gue lakukan selama proses menjadi sehat adalah olahraga. Gue sekarang cinta banget sama olahraga. Banyak hal yang gue pelajari dari melakukan olahraga. Sebenarnya kecintaan gue sama olahraga terjadi secaran”tidak sengaja.” Pas lagi patah hati, gue benci banget sama diri gue sendiri yang suka tiba-tiba nangis tengah malem sampe ketiduran. Terus besok paginya bangun dengan keadaan mata bengkak, lemas kek zombie. Gue merasa kek manusia sampis banget. Bahkan tidur aja gue gak damai. Lalu akhirnya gue cari cara gimana biar gue capek jadi gue gak punya waktu untuk nangis-nangis tengah malam. Jatuh lah pilihan gue untuk lari. Lari adalah olahraga yang gue benci waktu SMA. Gue gak bisa lari. Dapet 2 putaran pun udah syukur. Tapi ketika pertama kali gue coba lari lagi saat gue kuliah, di percobaan pertama, gue bisa lari 7 putaran. Rasanya tuh magis banget. Gue gak percaya gue bisa lari 7 putaran. Hari-hari berikutnya gue mencoba menambah jumlah putaran gue. 8 putaran, 10 putaran, 11 putaran, 15 putaran hingga rekor tertinggi gue saat ini adalah 20 putaran stadion. Setiap kali gue lari, gue jadi merasa kembali percaya sama diri gue sendiri. Bahwa gue adalah manusia yang mampu. Gue punya kaki yang kuat untuk menghadapi apapun. The power of dopamine y’all lol.
Olahraga lain yang gue lakukan adalah taekwondo, muaythai, archery, kickboxing, zumba, dance cardio, yoga. Setiap olahraga itu punya seni tersendiri dalam mengajarkan gue tentang nilai-nilai kehidupan. Contohnya, saat melakukan yoga. Gue belajar tentang focus on myself. I breath right here right now. I have to feel connected with my ownbody. With myself.
Sekarang olahraga menjadi sebuah kebutuhan buat gue. Kalo gue lagi sering uring-uringan, itu jadi semacam sinyal bahwa hidup gue sedang kurang baca buku dan kurang olahraga. Saat sedang stres atau dalam masalah, olahraga terkadang menjadi pilihan gue dalam proses mencari solusi dan mengelola emosi. Ketika gue merasa emosi gue sedang sangat meledak-ledak dalam menghadapi sesuatu, gue memilih olahraga yang lembut dan fokus pada pernapasan seperti yoga. Saat sedang mencari solusi, gue memilih untuk lari. Makanya biasanya, semakin berat atau mengganggu masalah gue maka akan semakin banyak pula jumlah putaran lari gue karena gue butuh semakin banyak waktu untuk berpikir.
Lalu berikutnya upaya gue untuk menjadi sehat yang sangat penting adalah self awareness. Ini adalah proses di mana gue melihat diri gue sendiri. Tapi bedanya, gue seperti menarik kursi keluar dan memandang segala sesuatu dari sudut pandang orang ketiga. Gue mencoba mencari akar-akar permasalahannya. Sebenernya gue nih kenapasih? Kenapa coba nyampe segininya? Gue sampe mencoba melihat pola gue ketika jatuh cinta, hal-hal yang membuat diri gue tidak sehat, mengevaluasi sikap gue selama ini dalam menghadapi hal tersebut. Gue list satu-satu. Menarik kursi keluar membantu gue untuk melihat secara luas. Gue sampe nemu pola gue kali jatuh cinta sama orang yang sebenarnya udah ada dari dulu sejak gue pertama kali pacaran. Perasaan gue terlalu demanding sama seseorang yang gue suka (mau nulis cinta tapi asa geuleuh). Demanding di sini maksudnya bukan gue harus terus-terusan chat sama dia tiap detik, harus ketemu tiap hari, telponan tiap malem. Demanding yang gue maksud adalah, perasaan gue terlalu attach sama orang. Lekat sama orang bagus dong? Bagus lah. Kalo kelekatannya positif. Ini mah tidak sehat. Hidup gue jadi dia sentris. Hidup gue tuh jadi dia, dia, dia, baru diri gue sendiri. Perasaan gue jadi dikontrol oleh keberadaan orang lain. Gue kemudian berpikir. Gue kek gini karena gue gampang terlalu percaya kali ya sama orang. Naif. Gue menganggap orang yang gue suka itu orang yang baik sekali. Meskipun gue adalah seseorang yang sangat Abraham Maslow; setiap orang pada dasarnya baik. Tapi kan bukan berarti orang akan selalu berbuat baik. Dan di satu sisi gue gak percaya sama diri gue sendiri. Maka jadilah gue menyerahkan kontrol dan kehendak kepada orang lain untuk mengatur perasaan gue. Padahal mah orang tersebut ya manusia biasa juga. Bukan sang maha. Bisa salah. Tidak sempurna. Ngatur hidupnya juga mungkin belum sepenuhnya benar. Gue jadi belajar untuk do not rely your life on someone. Ini hidup hidup elu. Tanggung jawab elu. Ngapain ngelempar tanggung jawab ke orang lain? Hidup itu menjadi mudah ketika lo bisa mengontrol diri lo sendiri. Bukan dikontrol orang lain. Lo yang selama ini bikin hidup sendiri jadi ribet karena biarin orang lain ngontrol perasaan lo. Gue juga belajar bahwa kebahagiaan itu bukan berasal dari keberadaan orang lain. Tapi dari diri gue sendiri. Gue jadi belajar untuk lebih mengenal dan mengelola emosi gue sendiri. Oh gue kalo sedih tuh orangnya kek gini ya. Sehat gak nih? Gue kalo marah ternyata pola pikirnya jadi seperti ini. Gue kalo lagi down ternyata kek gini ya. Kemudian gue mencoba mengenali hal-hal yang selama ini bikin gue seneng. Baca buku, nulis, olahraga, main twitter, yutuban, nonton acara olahraga, jalan, jalan-jalan, masak. Gue jadi mengeksplor lebih hal-hal yang bikin gue bahagia. Gue jadi belajar untuk lebih belajar.
Gue juga belajar tentang self love. Kata itu ya dulu sangat underrated sekali buat gue. Kek jargon iklan yang numpang lewat, yang selama ini tidak pernah gue serapi maknanya. Gue belajar bahwa your happiness comes first. Gue belajar mencintai tubuh gue. Selama ini gue gak pede sama warna kulit gue yang gelap ini. Tapi kemudian gue memutar sudut pandang gue. Emang kenapa kalo kulit gue gak putih? Emang kenapa kalo kulit gue sawo matang? Keknya gak kenapa-kenapa deh. Gak ada yang salah. Gue juga belajar untuk menjadi orang yang tidak ribet for sake my mental health. Gue kira ya gue selama ini sudah sangat asertif. Gue bisa sih bilang ya maupun tidak ke orang lain. Tapi ke orang yang gue suka, balik lagi ke pernyataan gue sebelumnya bahwa hidup gue terlalu dia sentris. Setiap tindakan yang mau gue ambil, gue selalu memikirkan perasaan dia yang sebenernya gue gak tau. Duh kalo gue kek gini, ntar dia gimana ya. Ganggu gak ya. Ntar dia kepikiran gak ya. Ah ribet banget deh gue yang dulu tuh! Heran gue juga sama diri gue sendiri. Makanya gue kemarin memutuskan untuk mengutarakan perasaan gue selama ini sejelas-jelasnya ke dia. Perasaan di sini bukan dalam artian seperti love confession gitu ya. Tapi menerangkan bahwa selama ini gue tuh merasakan apa aja sih. Gue cerita aja tuh kan ya ke dia panjang kali lebar kali tinggi sama dengan volume. Gue kaget sih sama diri gue sendiri. Keknya baru kali ini gue sangat berterus terang ke dia yang berarti gue juga sangat berterus terang ke diri sendiri. Rasanya? Lega banget sih coy. Gue kek abis boker setelah seminggu makan indomi. Gak ada lagi perasaan duh takut dia ngerasa ini, ngerasa itu. Gak ada. Yang ada cuma lega dan bangga sama diri sendiri.
Akhirnya gue sampai pada satu titik bahwa, I want to fall in love with myself first. Start loving my body, my vision, my journey, my stories, before loving someone else. I want to try to know myself best so even if someone leaves me, I can still hold myself altogether and don’t get lost in the crowd. Pembelajaran-pembelajaran tentang diri sendiri ini ternyata sangat menyenangkan. I realize that having a partner is a bonus, because whether I have a partner or not, I can make myself happy. Gue akan terus belajar menjadi orang yang sehat. I have to be a healthy person to have a healthy relationship.
Proses yang menyenangkan dan juga tidak mudah ini membuat gue semakin percaya bahwa Tuhan tidak pernah melempar dadu. Ternyata kalo gue putar sudut pandang gue selama ini, patah hati juga merupakan suatu berkat dan nikmat. Gue bisa ada di titik ini, menjadi diri gue yang sekarang melalui proses bangkit setelah selama ini rasanya seperti terlempar ke bawah kolong bus. Terseret-seret. Berdarah sana-sini. Dan itu semua awalnya darimana? Patah hati. Lmao.
Terkadang ada sesuatu yang sebenarnya merupakan nikmat Tuhan, tetapi kita belum tau cara menikmatinya.
Komentar
Posting Komentar