Salah satu hal yang sering membuatku berhenti melakukan sesuatu atau bahkan tidak mencoba sesuatu adalah pemikiran is this a good thing? atau am I good enough? Aku sadar betul bahwa merasa tidak cukup baik adalah pr terbesarku selama ini. Aku mulai sadar bahwa pemikiran itu tidak sehat ketika kelulusan S1. Saat pengumuman kelulusan S1, teman-teman kuliahku merayakannya dengan gembira. Ada yang nangis bahkan. Sedangkan aku merasa bingung. Bingung kenapa teman-teman aku merasa bahagia? Dan bingung kenapa aku merasa biasa aja?
Saat itu aku berpikiran, emangnya aku harus seneng ya? Perasaan lulus S1 merupakan hal yang biasa aja. Aku jujur sedih banget ketika aku berpikiran seperti itu. Aku tahu betul gimana perjuanganku untuk menyelesaikan skripsi dengan 3 variabel. Aku tahu betul perjuanganku mencari responden sana-sini. Tapi ketika aku berhasil menyelesaikan skripsiku, lulus dengan nilai memuaskan, aku malah merasa biasa aja. Aku pengen bisa merasa bangga sama diriku sendiri.
Hari ini aku menemukan istilah menarik dari artikel Psychology Today yang aku baca yaitu imposter syndrome. Artikel yang aku baca hari ini berjudul I Am Not Good Enough: Managing Imposter Syndrome. Ditulis oleh Janina Scarlet, Ph.D. Imposter syndrome pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 oleh Dr. Pauline Rose Clance dan Dr. Suzanne Imes melalui artikel berjudul The Impostor Phenomenon in High Achieving Women: Dynamic and Therapeutic Intervention.
Janina Scarlet menjelaskan Imposter syndrome (fraud syndrome) merupakan pemikiran bahwa pencapaian yang kita dapatkan tidak layak untuk mendapat perhatian, pujian dan kita merasa bahwa semua orang akan mengetahui bahwa sebenarnya kita adalah penipu. Rasanya seperti ada monster di bahu kita yang selalu berbisik hal buruk tentang kita dan membuat kita meragukan setiap hal yang kita lakukan. Imposter syndrome terjadi ketika mengabaikan bakat atau kemampuan yang kita miliki terutama saat dihadapkan pada kesempatan yang luar biasa.
Apakah kamu pernah mengalami hal di bawah ini ketika diberikan kesempatan yang menarik:
A. Merasa malu, takut dan memiliki pemikiran yang insecure seperti
- Aku tidak cukup baik
- Orang-orang akan sadar bahwa aku adalah penipu
- Jika aku mencoba hal ini, aku akan gagal
- Terlalu mempersiapkan diri (over preparing) untuk membuat orang lain terkesan
- Prokrastinasi atau menunda-nunda sesuatu dan panik mengenai menunda-nunda sesuat
- Meningkatnya perilaku takhayul seperti jika kita tidak mengenakan gelang keberuntungan saat ujian, maka ujian kita akan gagal
- Keinginan untuk melarikan diri atau menarik diri dari situasi yang ditakuti atau menghindari siapapun yang mengingatkan kita situasi tersebut seperti menghindari teman, rekan kerja, guru.
- Keyakinan bahwa setiap orang menilai kita secara kasar
- Keyakinan bahwa orang lain bukan penipu dan orang lain tidak pernah merasa seperti penipu
C. Reaksi kecemasan yang muncul secara presisten seperti;
- Meningkatknya detak jantung
- Nafas pendek
- Telapak tangan berkeringat
- Tegang otot
- Sulit untuk tertidur
Jika kamu menjawab "ya" dari kriteria yang disebutkan di atas, maka ada kemungkinan kamu mengalami imopster syndrome. Imposter syndrome bukanlah suatu gangguan (disorder) baik secara medis maupun psikologis. Imposter syndrome merupakan pengalaman umum yang terjadi pada banyak orang. Imposter syndrome lebih umum terjadi pada kelompok minoritas seperti perempuan, LGBTQIA dan individu BIPOC (black, indigenous, people of color). Imposter syndrome dapat dialami oleh semua orang dari semua jenis kelamin, semua latar belakang dan semua pekerjaan.
Beberapa orang yang mengalami imposter syndrome mungkin merasakan bahwa mereka harus sempurna, tidak pernah melakukan kesalahan, melakukan segala sesuatu sendirian tanpa perlu bantuan orang lain. Mereka merasa bahwa kesalahan yang mereka lakukan atau bantuan yang mereka terima membuat mereka percaya bahwa tidak layak untuk dipuji atau tidak layak mendapat prestasi. Pada kenyataannya, superhero seperti Superman, Wonder Woman, Black Panther membutuhkan bantuan orang lain dalam kesuskesan mereka. Melakukan sesuatu tanpa kesalahan atau tanpa bantuan orang lain merupakan hal yang tidak masuk akal. Kecuali situ Tuhan (iya ini ngomongnya sambil ngaca).
Seseorang yang mengalami imposter syndrome juga mungkin merasa bahwa jika mereka bukan seorang jenius alami (jika bakat atau kemampuan tidak datang secara alami kepada mereka), mereka merasa bahwa mereka tidak benar-benar berbakat atau layak. Banyak orang keliru percaya bahwa jika mereka berbakat maka mereka tidak perlu belajar atau berlatih. Pada kenyataannya, setiap orang berbakat memerlukan latihan dan mengalami rintangan dalam prosesnya. Contoh: Valentino Rossi tidak selalu naik podium satu dan jadi juara dunia, Thomas Alfa Edison berulang kali gagal dalam percobaannya. Rintangan yang sedang dihadapi dapat membantu kita untuk mempertajam dan mengasah kemampuan kita dari waktu ke waktu.
Beberapa orang juga mungkin merasa malu jika mereka berjuang atau bersusah payah melakukan tugas dan tanggung jawab serta komitmen yang dimiliki. Mereka percaya bahwa seharusnya segala sesuatu dapat dilakukan dengan mudah. Kita berasumsi bahwa jika benar-benar bertalenta dan cukup baik maka kita tidak akan pernah berbuat salah, mengetahui segala sesuatu dan menjadi seseorang yang ahli, tidak pernah meragukan diri sendiri, tidak membutuhkan orang lain, suskses di segala hal yang kita lakukan. The truth is, kita membutuhkan proses dan rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.
Fakta yang tidak menguntungkan tentang imposter syndrome adalah setiap kali kita menerima feedback atau kritik negatif, kita cenderung menerima hal tersebut sebagai bukti bahka kita sebenarnya tidak cukup baik. Di sisi lain, ketika kita menerima feedback atau kritik yang positif, kita cenderung mengabaikan hal tersebut, berpikir bahwa orang lain tidak mengetahui cerita lengkapnya dan berpikir bahwa orang lain salah memahami kita. Zuzur ku sering merasakan ini selama proses menulis. Ku sering merasa tulisanku tidak cukup bagus, tidak bermanfaat. Tapi ketika ada orang yang komentar bahwa tulisanku bagus dan berterimakasih atas tulisanku, aku merasa bahwa ENGGA HEY ENGGA SEBAGUS ITU PLIS JANGAN BERTERIMAKASIH KE AKU, AKU CUMA MENULISKAN HAL YANG AKU BACA:( riweuh u termos piknik:(
Janina memberikan langkah-langkah untuk mengatasi impster syndrome, yaitu:
1. Name it
Menyadari atau mengenali pikiran dan evaluasi diri yang didorong oleh imposter syndrome. Pemberian nama atas pikiran tersebut dapat membantu kita lebih memahami situasi yang terjadi.
2. Normalize it
Menyadari bahwa banyak orang yang mengalami imposter syndrome. Orang dengan IQ tertinggi seperti Albert Einstein pun pernah mengalami hal tersebut.
3. Understand it
Memahami mengapa kita mengalami pengalaman ini. Seseorang yang mengalami imposter syndrome bukan berarti mereka tidak mampu. Mereka merasa tidak mampu karena mereka peduli terhadap kesempatan atau terhadap penyebab munculnya perasaan tersebut. Jika sedang mengalami imposter syndrome, tanyakan hal ini kepada diri sendiri; apa gambaran besarnya? Apa yang sebenarnya saya pedulikan? (misal; membantu orang lain, kreativitas, berkontribusi pada seni, sains, kedokteran, atau menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain).
4. Honor the big picture
Langkah selanjutnya adalah menghormati gambaran besar tersebut. Contoh, tantangan 30 Hari Menulis di blog merupakan salah satu caraku untuk mengatasi perasaan tidak cukup baik. Tantangan tersebut membuatku tetap menulis meskipun aku mulai merasa bahwa aku tidak mampu (seperti hari ini! Aku mulai self doubt dan berpikiran untuk berhenti melanjutkan menulis #30DayChallenge But I made it yipiyyyy!) Ingatlah bahwa ketakutan terbesar kita merupakan nilai inti terbesar kita.
5. Talk to other about imposter syndrome
Menuliskan tentang imposter syndrome di blog, ajukan pertanyaan di sosial media apakah orang-orang pernah mengalami atau sedang mengalami imposter syndrome, tanyakan kepada role model kita apakah mereka juga pernah mengalami hal tersebut. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa imposter syndrome dialami juga oleh orang lain. Mengalami imposter syndrome merupakan hal yang wajar.
Ada kalimat penutup yang menarik dari Janina Scarlett pada artikel yang ditulisnya. Beliau berkata seperti ini;
If you are feeling like an imposter, if you are questioning whether you're ready or good enough, it means you're exactly where you're meant to be.
You know what, sometimes you just have to stop questioning yourself and just do it!
Komentar
Posting Komentar