Langsung ke konten utama

#30DayChallenge: Stigma Kesehatan Mental Pada Laki-Laki

    Laki-laki sering diasosiasikan sebagai seseorang yang kuat, tangguh, tidak boleh menunjukkan emosinya, tidak boleh menunjukkan sisi vulnerable atau menjadi lemah. Diskriminasi gender sebenarnya tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga laki-laki. Stigma-stigma yang menurutku tidak penting seperti di atas, terkadang menyudutkan laki-laki pada situasi yang tidak menguntungkan salah satunya dalam lingkup kesehatan mental. 

    Hari ini aku sengaja mencari topik mengenai kesehatan mental pada laki-laki. Artikel Psychology Today yang aku baca hari ini berjudul Men's Mental Health Stigma: A Male Issue or Social Issue? Ditulis oleh Rob Whitley, Ph.D. Dalam artikel tersebut, Rob Whitley membagi stigma menjadi dua jenis yaitu stigma internal dan stigma eskternal

    Stigma internal mengacu pada perasaan malu dan tidak berharga yang distigmatisasi oleh individu. Biasanya stigma internal mengarah pada penarikan diri dari sosial dan harga diri yang rendah (low self esteem).  Sedangkan stigma eksternal mengacau pada sikap negatif, stereotip prasangka yang dipegang banyak orang. Stigma eksternal dapat mengarah pada penolakan atau diskriminasi. 

    Jika berbicara mengenai kesehatan mental laki-laki, biasanya cenderung berfokus pada stigma internal laki-laki. Laki-laki yang mengalami isu kesehatan mental sering digambarkan sebagai orang yang keras kepala dan diam saja saat mengalami mental illness yang dapat merusak dirinya sendiri. Fokus sempit tersebut dapat berubah menjadi victim blamming atau menyalahkan korban.  Maka dari itu, sangat penting untuk memperluas fokus dengan mempertimbangkan stigma eksternal. Stigma eksternal mungkin merupakan faktor kunci yang menghalangi laki-laki untuk mendiskusikan masalah kesehatan mental mereka dan mencari bantuan kesehatan mental

    Stigma Kesehatan Mental Laki-Laki Dalam Layanan Kesehatan 

    Literatur akademis menunjukkan bahwa laki-laki secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan layanan kesehatan mental dibanding dengan wanita dalam menghadapi mental illness. Alasan kurangnya penggunaan layanan kesehatan mental pada laki-laki memang sangat beragam. Namun stigma eskternal memegang peranan penting dalam hal tersebut. 

    Baru-baru ini APA (American Psychological Association) merilis pedoman untuk praktik psikologis pada laki-laki dan anak laki-laki. Pedoman tersebut menyatakan bahwa menyesuaikan dengan ideologi maskulinitas tradisional telah terbukti mempengaruhi kesehatan mental secara negatif. Banyak para ahli yang mengkritik habis-habisan pedoman tersebut. Para ahli menyebutkan bahwa pedoman tersebut menstigmatisasi dan mempatologiskan maskulinitas sehingga dapat menghilangkan kesempatan dalam mereformasi dan menginovasi pendekatan dalam kesehatan mental laki-laki. 

    Stigma Kesehatan Mental Laki-Laki Dalam Keluarga

    Penelitian menunjukkan bahwa keluarga dapat menjadi sumber dukungan yang penting bagi penderita penyakit mental. Namun, bukti menunjukkan bahwa beberapa anggota keluarga dapat menganggap penyakit mental sebagai sesuatu yang memalukan dan merusak reputasi keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya penyangkalan terhadap penyakit mental yang diderita, atau menyembunyikan dan menghalangi seseorang yang mengalami penyakit mental untuk mencari bantuan. 

    Orangtua, anak bahkan pasangan dapat menjadi anggota keluarga yang melakukan hal tersebut terlebih jika anggota keluarga yang mengalami penyakit mental adalah laki-laki. Rob Whitley dan koleganya melakukan studi penelitian yang menunjukkan bahwa suami yang mengalami penyakit mental, menerima komentar negatif dan perlakuan tidak simpatis dari keluarganya. Hal ini terutama terjadi jika penyakit mental yang dialami suami mengganggu kemampuannya dalam mencari nafkah yang menyebabkan istri mempertanyakan maskulinitas suami sebagai laki-laki. Hal tersebut malah dapat memperburuk kesehatan mental sang suami. Berikut bukti kutipan dari salah satu peserta studi: 
Saya kehilangan rasa hormat dari istri saya karena saya terus gagal dalam menjalankan tugas saya. Istri saya menjadi kehilangan kepercayaannya terhadap saya. Saya sangat sedih ketika mendengar kalimat apakah kamu seorang laki-laki? apakah kamu seorang suami? dari istri saya. Saya ingin mati. Saya ingin bunuh diri. 

 

    Stigma Kesehatan Laki-Laki di Media 

    Pada penelitannya baru-baru ini, Rob Whitley dan koleganya memeriksa liputan media tentang penyakit mental menurut jenis kelamin. Rob dan koleganya menemukan bahwa artikel tentang wanita dengan penyakit mental cenderung lebih positif dan simpatik sedangkan artikel tentang laki-laki dengan penyakit mental lebih banyak berisikan tentang stigmatisasi dan menghubungkan penyakit mental laki-laki dengan tindak kejahatan dan kekerasan

    Hal ini merupakan penemuan yang penting karena penggambaran media tersebut dapat berkontribusi pada meluasnya ketakutan terhadap laki-laki yang mengalami penyakit mental dan menghalangi laki-laki untuk mencari bantuan kesehatan mental. Contoh, seorang laki-laki takut dianggap atau dicap sebagai orang yang rawan melakukan kejahatan dan kekerasan jika ia mengungkapkan masalah kesehatan mentalnya kepada keluarga, teman ataupun kolega. Salah satu partisipan penelitian Rob dan koleganya mengungkapkan mengenai sentimen umum di kalangan pria yang mengalami gangguan mental. Partisipan tersebut berkata,
Orang-orang memiliki ketakutan. Mereka berpikir, laki-laki itu gila. Dia dapat membunuh kita. Mereka berpikir, laki-laki itu tidak seperti kita. Mereka berpikir laki-laki yang mengalami penyakit mental lebih rendah dari mereka. Jika saya berkata pada mereka bahwa saya merupakan penderita skizofrenia, mereka tentu memiliki pandangan lain terhadap saya. Saya takut mengatakan hal tersebut pada orang-orang. Saya tidak ingin mereka menghakimi saya. 


    Hal-hal di atas merupakan bukti bahwa sangat penting untuk mendiskusikan fokus yang lebih luas terkait kesehatan mental pada laki-laki. Laki-laki mungkin cenderung diam saat menghadapi penyakit mental karena stigma eksternal dan pelabelan sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu seperti praktisi profesional kesehatan, anggota keluarga, media dan kelompok sosial lainnya. Stigma eskternal tersebut harus ditangani agar  penanganan kesehatan mental laki-laki dapat lebih serius dilakukan. 

    Tidak ada yang salah dari laki-laki yang mencari bantuan atau membicarakan kesehatan mentalnya. Laki-laki yang mencari kesehatan mental tidak serta menjadikan diri mereka lemah atau menghilangkan jati diri mereka sebagai laki-laki. Terapi atau penanganan kesehatan mental lainnya bukan bertujuan untuk menjadikan laki-laki terlihat lemah melainkan untuk membantu masalah yang mereka hadapi, membantu mereka untuk merasa nyaman dengan diri mereka dan menjadikan diri mereka seseorang yang fully functioning. 

    Menurutku, kita sebagai bagian dari kelompok sosial hendaknya belajar untuk menghilangkan stigma-stigma gender yang dapat merugikan diri kita maupun orang lain sebagai individu. Laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi sehat baik secara fisik maupun psikis. Stigmatisasi dan diskriminasi gender hanya membuat tembok di antara kita untuk menolong satu sama lain

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta dan Luka dalam Rumah Tangga

Topik materi malam ini menarik sekali bagiku yaitu "Cinta dan Luka dalam Rumah Tangga." Disampaikan oleh Olphi Disya Arinda, M.Psi., Psikolog. Ketika remaja, konsep pernikahan di kepalaku adalah mencari seseorang yang bisa diajak hidup bahagia bersama.  Namun seiringnya berjalannya waktu (tua maksudnya), konsep tersebut menjadi bergeser. Di kepalaku sekarang ketika mencari pasangan hidup bukan lagi soal orang yang bisa diajak hidup bahagia. Tetapi seseorang yang bisa diajak berkonflik bersama. Maksudnya bukan berarti tidak mau bahagia ya. I mean, it's an automatic lah. Siapasih yang tidak mau menikah sama orang yang kita bahagia ketika bersamanya? Tapi tidak semua orang bisa diajak berkonflik bersama secara sehat. Materi malam ini sebagian besar membahas hal tersebut; konflik peran sebagai istri, konflik dalam rumah tangga, kunci dalam konflik, 4 horsemen of apocalypse, dan  fair fight guideline.    PERAN ISTRI Sesi kelas dibuka dengan pertanyaan, bagaimana gambar...

Lapis Legit: Kue Manis, Tak Seperti Janjimu

Sebentar lagi lebaran. Para keluarga pun sibuk mempersiapkan berbagai hal demi menyambut hari kemenangan. Dari yang mulai beli baju lebaran, ngecat pager, renovasi rumah, memberantas kejahatan, sampai nyiapin template buat minta maaf ke mantan. Hmmm. Salah satu tradisi yang gak afdol rasanya kalau gak dilakuin menjelang lebaran adalah, membuat kue lebaran. Keluarga gue salah satu dari sekian milyar keluarga yang melakukan tradisi itu. Keluarga dari nyokap gue merupakan suku asli Lampung. Jadi mereka hari ini membuat salah satu kue khas Lampung yaitu lapis legit. Gue yang belum pernah ikutan buat kue ini jadi penasaran buat ikutan. Yah lumayan kan ya buat jadi bahan ngeblog. Biar tulisan gue di blog ada manfaatnya di mata masyarakat *berdiri di pinggir jurang* *rambut berkibar-kibar* Lapis legit merupakan salah satu kue khas Lampung. Kenapa namanya lapis legit? Itu karena bentuk kuenya yang berlapis-lapis dan rasanya yang legit #InfoKue #SayaBertanya #SayaMenjawab. K...

Review: Puberty Doesn't Hit Me Hard, Skincare Does

Ciao! Come stai? Sto molto bene . Aweu gaya banget kan pembukaan gue pake Bahasa Itali? Maklum, akhir-akhir ini gue lagi belajar Bahasa Italia biar kalo ketemu Rossi gak uu aa uu aa. Btw, quick fun fact: gue baru tau arti zupa (Bahasa Italia) adalah sup. Jadi zupa soup artinya sup sup. Sungguh pengulangan yang sangat mengulang. OKAY ENOUGH FOR THE INTRO! Kali ini gue mau membahas tentang skincare routine gue (cailaaaahh skinker rutin) dan sederet pengalaman gue saat muka sedang jerawatan. Hiks masa-masa kelam itu *nangis di pundak kokoh Ronaldo*   Jadi, gue baru mengenal skinker itu saat usia gue menginjak 22 tahun. Sejak gue puber jaman-jaman SMP itu gue gak ngerti skinker. Gue cuma make facial wash doang. APA ITU TONER APA ITU SERUM APA ITU MOISTURIZER?! Bodoh banget gue dulu tuh soal perawatan kulit. Pas SMP gue nyobain sih make Viva. Tapi pas gue pake milk cleanser dari Viva kulit muka gue terasa panas terbakar gitu. Apaqa kulit qu saat itu menginjak teras nerak...