Beberapa dari kita mungkin pernah (atau bahkan masih) merasa marah ataupun kecewa kepada orang lain. Terluka tanpa tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Ada yang marah karena dikhianati oleh orang yang dicinta, dikecewakan realita, terluka karena ditinggalkan seseorang tanpa adanya closure. Ketika kita merasa sakit yang luar biasa akibat terluka, kita sering diberitahu untuk memaafkan. Melanjutkan hidup dengan luka yang dipunya aja sulit, ini lagi disuruh memaafkan. Apakah sebenarnya kita perlu untuk memaafkan?
Artikel yang aku baca kali ini sangat menarik berjudul, "Why You Don't Always Need To Forgive." Artikel ini ditulis oleh Mariana Bockarova, Ph.D. Pertama-tama mari membahas definisi dari varibel penting judul tersebut yaitu memaafkan. Menurut Webster, memaafkan berarti berhenti untuk merasa marah, kecewa, maupun dendam terhadap seseorang atau melepaskan perasaan kebencian atau keinginan membalaskan penghinaan. Sebagai kata kerja, memaafkan mengandung konsep yang melibatkan komponen utama yang membentuk citra diri kita seperti tanggung jawab, karakter dan moralitas. Ketika kita diberitahu untuk memaafkan, kita diberitahu untuk bertindak dengan cara tertentu di mana seolah-olah ketika kita memaafkan, kita tidak hanya membebaskan seseorang yang melukai kita tetapi juga membebaskan diri kita sendiri.
Nasihat yang sering kita dapat perihal memaafkan adalah, dengan memaafkan itu berarti kita membebaskan diri kita dari rasa sakit di masa lalu serta kenangan atau memori yang membuat kita terluka. Berikut pernyataan menarik dari Bockarova mengenai hal tersebut. Menurutnya, ketika kita sedang terluka akibat dikhianiati oleh seseorang atau sesuatu dan kita percaya bahwa satu-satunya cara pengampunan yang mungkin dilakukan adalah memaafkan, dapat menggiring kita ke jalan yang berbahaya. Sebab jika kita merasa tidak dapat memaafkan dengan sepenuh hati, kita kemudian akan dirusak oleh perasaan bersalah karena tidak tahu bagaimana cara memaafkan. Dengan begitu kita makin terperosok dalam keputusasaan.
Kenyataannya dalam beberapa situasi, kita tidak perlu memaafkan terlebih memaafkan merupakan fenomena psikologis yang komplek yang melibatkan faktor situasi dan faktor individu. Seperti contoh, menurut dua studi yang dilakukan oleh McCullough mengenai memaafkan, balas dendam dan faktor lain, menunjukkan bahwa agreebableness yang rendah dan neurotisme yang tinggi memiliki kaitan dengan balas dan serta berkaitan dengan kurangnya bisa memaafkan, memiliki perenungan yang lebih besar mengenai kesalahan, memiliki pengaruh negatif yang lebih tinggi dan kepuasaan hidup yang lebih rendah. Beberapa orang tampaknya dapat lebih mudah memaafkan karena faktor kepribadian mereka.
Dari sudut pandang yang lain, memaafkan juga bisa berdasarkan faktor situasi. Contoh, kita cenderung bisa memaafkan seseorang ketika kita melihat penyesalan dari orang tersebut. Bockarova menduga bahwa hal tersebut terjadi karena penyesalan menujukkan bahwa seseorang mengakui kesalahannya. Dengan mengakui kesalahan dan meminta maaf, seseorang (yang menyakiti kita) menyadari bahwa ia memiliki peran dan tanggung jawab atas luka yang kita rasakan. Sehingga kita memiliki keyakinan bahwa orang tersebut tidak lagi akan melukai kita karena ia merasakan sakit yang kita rasakan. Jujur aku ketawa ketika membaca paragraf ini karena mengingatkan percakapanku dengan Asti.
Asti : Kalo kamu punya kesempatan untuk membalas kelakuan dia, kamu mau bales ga?
Aku : Engga. Aku cuma mau dia ngerasain sakit yang aku rasain. Kayak yang pengen ngasih tau, gini lho rasa sakitnya. Sesakit ini.
Jika seseorang tidak menunjukkan penyesalan, memaafkan dapat dilakukan melalui perasaan welas asih dan empati. Aku jadi ingat kisah rasul yang pernah dilempari kotoran dan dihina. Rasul tidak marah atau membalas penghinaan tersebut melainkan berdoa kepada Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada kaumnya karena mereka tidak mengetahui. OMG KAPAN AKU BISA WELAS ASIH SEPERTI ITU @GOD
Memaafkan melalui empati perlu dilakukan jika seseorang melakukan kesalahan secara tidak disengaja atau ia tidak menyadari konsekuensi dari perilakunya dapat menyebabkan luka yang dalam. Bockarova menyatakan bahwa memaafkan yang tidak diperlukan adalah memaafkan tindak kejahatan. Ketika seseorang merasa puas telah menyakiti orang lain tanpa rasa bersalah, maka yang diperlukan bukanlah memaafkan melainkan penerimaan (acceptance).
Terkadang sulit bagi kita untuk menyadari bahwa orang terdekat kita dapat berperilaku jahat terhadap kita, menikmati luka yang kita rasakan dan terus menyakiti kita demi kepuasaan pribadi (contoh kasus: kekerasan pada anak). Salah satu klien Backrova yang merupakan korban kekerasan pada anak pernah berkata kepadanya, aku tahu bahwa aku harus memaafkan. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya memaafkan. Menurut Backrova, tidak perlu adanya pemaafan. Hal yang diperlukan adalah kebutuhan untuk memahami, menerima, pertanggungjawaban dari kesalahan pelaku, kebutuhan untuk merasakan sedih, mencintai diri yang sudah bisa bertahan, dan melakukan rencana untuk melanjutkan hidup.
Dalam beberapa situasi, memaafkan merupakan sesuatu yang dibutuhkan. Namun di situasi lain, hal yang lebih diperlukan adalah belajar, bertumbuh dan terus melanjutkan hidup.
If we can't forgive, we could try to moving forward.
Komentar
Posting Komentar