Hari ini aku mencari topik tentang perempuan di artikel Psychology Today. Artikel menarik yang aku baca hari ini berjudul Women and Mental Illness. Ditulis oleh Joel L. Young, M.D. Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan mengapa mental ilness lebih umum terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.
Peneliti menunjukkan bahwa perempuan 40% lebih mungkin untuk mengalami depresi dibanding laki-laki. Perempuan juga dua kali lebih mungkin untuk mengalami PTSD (post traumatic stress disorder) di mana sekitar 10% perempuan mengalami hal tersebut setelah terjadinya peristiwa traumatis dibanding pria yang hanya 4%. Para psikiater sebenarnya tidak begitu yakin dengan penyebab perempuan lebih umum mengalami mental illness dibanding laki-laki. Mencari tahu faktor-faktor spesifik penyebab hal tersebut bukan lah sesuatu yang mudah. Sejauh ini para dokter telah menunjukkan beberapa kemungkinan mengapa perempuan lebih umum mengalami mental ilness. Beberapa kemungkinan tersebut di antaranya adalah:
Diskriminasi, Trauma dan Pengalaman Hidup yang Penuh Tekanan
Trauma merupakan hal yang sering terjadi pada perempuan. Setengah dari semua perempuan mengalami beberapa bentuk trauma selama hidup mereka. 1 dari 4 perempuan pernah mengalami percobaan atau kekerasan seksual. Dan 1 dari 3 perempuan dilaporkan mengalami pelecehan yang dilakukan oleh pasangan domestik.
Menurutku pelecehan seksual pada perempuan kerap terjadi salah satunya karena masih saja ada pandangan yang menganggap wanita sebagai objek. Aku pernah menonton tayangan seseorang (males banget nyebutnya sebagai tokoh agama ataupun tokoh masyarakat) yang mengungkapkan bahwa istri tetap harus melayani suami (dalam konteks berhubungan badan) meskipun istri sedang tidak ingin melakukan hal tersebut. Orang itu bilang apa susahnya sih? Wong tinggal ngangkang kok. Wow ringan kali congornya ku tengok.
Mungkin beberapa laki-laki maupun perempuan belum mengetahui bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga merupakan termasuk tindakan pemerkosaan (marital rape). Hal tersebut bahkan diatur pada Pasal 5 UU KDRT yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahnya dengan cara; salah satu poinnya adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dimaksud meliputi pemaksaan hubungan seksual. Sama seperti laki-laki, perempuan juga kan memiliki pilihan. Memiliki hak untuk memilih. Gak bisa asal main perintah ngangkang-ngangkang aja bok. Kehidupan berumah tangga tidak serta merta menjadikan suami sebagai dewa dan istri sebagai kerbau yang dicucuk hidungnya.
Ditambah lagi masih adanya diskriminasi gender. Beberapa perempuan melaporkan bahwa mereka mengalami trauma karena menerima perawatan yang tidak memadai dan respon yang insensitif atas kasus pelecehan atau kekerasan yang mereka laporkan. Contohnya, perempuan sering disalahkan ketika menjadi korban pelecehan seksual. Ada yang masih menyalahkan pakaian korban, jam pulang korban, dan sebagainya.
Diskriminasi gender dapat meningkatkan keterpaparan perempuan terhadap stres dan stres merupakan predikator signifikan dari mental illness. Peneliti secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan menerima ketidakadilan dalam porsi melakukan pekerjaan rumah dan mengurus anak (perempuan lebih sering melakukan kedua hal tersebut bahkan ketika perempuan bekerja penuh waktu). Perempuan juga melaporkan bahwa mereka harus bekerja lebih keras untuk mendapat kredit atau penghargaan yang sama dengan laki-laki. Banyak wanita yang juga mengkhawatirkan tentang kesenjangan upah gender serta tempat kerja di mana pelecehan dan diskriminasi sering terjadi. Hal-hal tersebut dapat membuat perempuan mengalami stres yang tinggi dan dapat menghancurkan harga diri (self esteem) perempuan.
Isu Hormonal
Hormon estrogen adalah 'hormon wanita' sedangkan hormon testosteron adalah 'hormon laki-laki' merupakan miskonsepsi yang terjadi. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedua hormon tersebut dalam aliran darah namun dengan jumlah yang berbeda berdasarkan kesehatan, usia dan berbagai faktor lainnya. Beberapa penelitian menujukkan bahwa perbedaan hormonal pada pria dan perempuan dapat berperan dalam penyakit mental (mental illness). Contohnya, perempuan cenderung memproduksi serotonin yang lebih rendah dibanding laki-laki. Kekurangan serotonin dapat menyebabkan sejumlah masalah kesehatan mental terutama depresi dan kecemasan.
Kehamilan, Kelahiran dan Parenting
Perempuan mengalami perubahan fisiologis semasa kehamilan dan persalinan. Sebanyak 41% perempuan mengalami depresi pascapersalinan (postpartum depression). Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa perubahan fisiologis dapat menjadi penyebab terjadinya mental illness.
Selain faktor fisiologis, faktor budaya juga memiliki peran di dalamnya. Beberapa perempuan kewalahan dengan tuntutan menjadi orangtua. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki pasangan yang tidak mendukung, mengalami kelahiran yang traumatis, hidup dalam kemiskinan atau mengalami stres tinggi secara signifikan lebih mungkin mengalami depresi pascapersalinan (postpartum depression).
Perbedaan dalam Pelaporan
Diskriminasi gender tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga dapat merugikan laki-laki. Perempuan sering dianggap lebih emosional dibanding pria sedangkan pria sering diasosiasikan untuk tidak menunjukkan emosi dan menunjukkan masalah atau hambatan mengenai emosi dianggap lemah. Maka sebab itu laki-laki cenderung memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk meminta bantuan kesehatan mental.
1 dari 4 perempuan akan mencari bantuan untuk mengatasi depresi sedangkan pada laki-laki hanya 1 dari 10 laki-laki yang mencari bantuan untuk mengatasi mental illness. Perbedaan ini yang mungkin menyebabkan laporan isu kesehatan mental pada perempuan lebih banyak atau umum dibanding laki-laki.
Perbedaan dalam Diagnosis
Bias implisit (implicit bias) merupakan bias yang tidak disadari seseorang termasuk dokter. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dokter memiliki bias implisit yang mendukung pelabelan gejala pada wanita sebagai hal emosional sementara mengaggap gejala pada laki-laki lebih serius. Maka dari itu perempuan yang melaporkan penyakit kronisnya mungkin akan dicap sebagai gejala depresi sedangkan laki-laki yang melaporkan hal serupa akan dirujuk ke ahli terapi fisik atau klinik nyeri.Tentu saja dokter yang mengalami bias implisit tidak sengaja melakukan hal tersebut (tidak sadar) dan tidak semua dokter melakukan diagnosis seperti di atas. Namun di dunia yang masih terdapat diskriminasi gender ini, hal seperti tersebut masih bisa terjadi atau dijumpai.
Meski isu kesehatan mental lebih umum terjadi pada perempuan bukan berarti gagasan kesehatan mental pada laki-laki menjadi tidak penting. Diskriminasi gender yang menunjukkan kerugian pada laki-laki maupun perempuan seharusnya membuat kita sadar bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan dan hak yang sama. Hak mengakses kesejahteraan (baik psikis maupun fisik), hak memperoleh kesempatan dan hak dalam mengakses bantuan kesehatan yang optimal.
Komentar
Posting Komentar