Ketika ada orang yang bertanya kepadaku; "Di, kamu udah move on belum dari ketombe jenglot (nama samaran)? Aku kadang berpikir, what is move on actually? Move on itu sebenarnya apa dan bagaimana? Kita mungkin memaknai move on dengan definisi dan cara yang berbeda-beda.
Putus cinta mungkin terlihat seperti masalah yang sederhana di mana ya sebenarnya juga ga sesederhana itu. Kalau putus cinta merupakan hal yang sederhana, mungkin tidak akan ada namanya istilah gagal move on. Bagi beberapa orang, melanjutkan hidup setelah putus cinta merupakan hal yang mudah. Namun bagi beberapa orang yang lain, ia harus mengutak-atik beberapa cara agar ia bisa kembali baik-baik saja dan melanjutkan hidup dengan baik.
Hari ini aku membaca artikel Psychology Today tentang move on yang berjudul The Best Way to Move On After a Breakup. Ditulis oleh Susan Krauss Whitbourne, Ph.D. Susan mengatakan bahwa terdapat beberapa cara dalam mengatasi situasi yang penuh tekanan atau stres seperti berakhirnya suatu hubungan. Dalam artikel ini Susan menyebutkan dua cara dalam mengatasi situasi putus cinta yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping. Fyi, coping adalah cara mengatasi atau menangani situasi yang membuat kita stres atau tidak nyaman.
Emotion-focused coping adalah cara di mana kita menyadari bahwa kita tidak dapat mengubah situasi tersebut tetapi kita dapat mengubah bagaimana cara kita merasakan terhadap situasi itu. Sedangkan problem-focused coping adalah cara kita untuk mengubah situasi tersebut. Strategi coping yang dapat berhasil bagi kita tergantung pada situasi aktual yang dapat diubah. Jika hubungan percintaan yang sudah putus bisa disambung kembali alias CLBK, problem-focused coping mungkin dapat lebih berhasil dilakukan. Tapi jika hubungan percintaan sudah berakhir dan mantan sudah nikah dengan orang lain, mungkin emotion-focused coping dan perbanyak tahajud serta pegang erat tasbih bisa lebih berhasil.
Erica Slotter dan Deborah Ward dari Universitas Villanova (2015) melakukan uji strategi koping (coping strategy) untuk menemukan 'hikmah' atau silver lining dari berakhirnya suatu hubungan. Mencari hikmah atau silver lining dari berakhirnya suatu hubungan memang tidak mudah namun menguntungkan. Hal tersebut dapat dicapai melalui penyesuaian mental kembali yang melibatkan memikirkan kembali akhir suatu hubungan dan pengaruh berakhirnya hubungan tersebut.
Slotter dan Deborah menjelaskan 2 bentuk koping dalam menghadapi situasi yang tidak dapat diubah yaitu cognitive reappraisal dan redemptive narrative. Cognitive reappraisal atau penilaian ulang merupakan cara kita dalam melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Dalam cognitive reappraisal kita dapat melihat situasi stres yang kita hadapi sebagai suatu tantangan bukan ancaman. Dalam konteks berakhirnya suatu hubungan, kita dapat melihat hal tersebut sebagai suatu kesempatan daripada sebagai kerugian. Misal, kesempatan untuk menjadi lebih baik atau kesempatan untuk bertemu dengan orang yang lebih baik. Kalau ada temen tongkrongan lo yang sering bilang, coba liat sisi baiknya. Nah itu berarti dia sedang menerapkan cognitive reappraisal.
Cara kedua adalah mengubah redemptive narrative. Redemptive narrative adalah cara kita menceritakan ke orang lain (dan juga diri sendiri) mengenai siapa diri kita dan apa saja yang telah kita lalui dalam hidup. Mengubah peranan putus cinta atau berakhirnya suatu hubungan melalui redemptive narrative dapat membantu kita melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang bermakna dan menghasilkan sesuatu yang positif.
Untuk menguji bahwa kedua cara tersebut dapat bermanfaat bagi orang yang mengalami putus cinta, Slotter dan Ward meminta partisipan dengan rentang usia 19-64 tahun yang baru mengalami putus cinta untuk mengisi studi buku harian selama 4 hari secara online. Dalam pencatatan harian mereka yang berdurasi 8,5 menit selama 4 hari, partisipan menanggapi salah satu dari petunjuk berikut: mencatat tentang berakhirnya hubungan (putus cinta) dari perspektif pribadi mereka, dari perspektif hubungan atau tanpa fokus atau perspektif tertentu. Selain itu, partisipan juga diminta untuk mengisi kuesioner yang menilai tekanan emosi mereka.
Hasil dari akhir periode pencatatan buku harian tersebut adalah partisipan merasa tidak terlalu tertekan dengan putusnya hubungan mereka. Selain itu hasil penelitian tersebut menunjukkan bawa membentuk kembali memori mengenai putusnya hubungan dan peran putusnya hubungan tersebut dalam cerita pribadi seseorang dapat lebih membantu seseorang dalam mengambil hikmah atau melihat silver lining.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa mencari makna, mengambil pelajaran, dan memberi diri kesempatan untuk melihat sisi positif merupakan cara untuk merasa lebih baik pasca berakhirnya suatu hubungan. Namun hanya melakukan cara tersebut tidak lah cukup. Cara tersebut merupakan salah satu cara yang dapat dicoba mengingat hanya memerlukan waktu 8,5 menit per hari untuk membuat diri merasa lebih baik setelah putus cinta.
Mengambil hikmah dari situasi yang menyakitkan seperti putus cinta memang merupakan hal yang penting dilakukan. Namun kita juga perlu ingat bahwa menyembuhkan diri dan mengambil hikmah memerlukan proses. Ada satu kalimat menarik yang pernah disampaikan temanku kepadaku;
Gpp kalo kamu sekarang belum bisa mengambil hikmahnya. Mungkin pelajaran kamu memang belum selesai.
Kita tidak bisa memaksa kapan kita bisa mengambil hikmah. Hal yang bisa kita lakukan adalah mengizinkan diri untuk terus berproses. Selain itu menurutku, move on itu tidak sesempit sudah atau belum. Lebih dari itu. Suatu proses trial and error dan memutar-mutar sudut pandang.
Btw aku pernah menuliskan pengalaman proses move on ku di postingan berjudul Menembus Batas: Menjadi Sehat
Komentar
Posting Komentar